Negara Indonesia yang “belum” Final


oleh M. Noor Harisudin

Dosen IAIN Raden Paku Jember

Pengasuh Ponpes Ar-Riayah Mangli Kaliwates Jember

Wakil Ketua PW Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Secara konsep, Indonesia sudah final. Namun, secara praktek, Indonesia masih belum (dan jauh dari) final. Dalam proses pencapaian cita-cita dan tujuan negara Indonesia yang final, aral dan hambatan senantiasa melintang. Cita-cita juga tidak bisa seratus persen digapai. Last but not least, cita-cita ini memang suatu saat nanti akan terwujud, kendati yang kita lihat baru berapa persennya saja. Yang kita lakukan secara kolektif tanpa melihat ras, agama dan aliran adalah melakukan ikhtiar sekuat mungkin dan yang terbaik untuk mencapai cita-cita tersebut.

Belakangan marak gerakan yang ingin mengubah haluan negara Indonesia yang kita cintai ini. Mereka ingin mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini dengan sistem khilafah. Khilafah, dalam imaginasi mereka, adalah solusi atas semua problematika kehidupan. Sebagian yang lain mengusung perda syari’at Islam sebagai panacea atas pelbagai problematika hidup yang kian kompleks dan akut. Sebagian yang lain ingin menggantinya dengan kembali pada ideologi komunisme. Di sinilah, tulisan ini serasa menemukan momentumnya.

Memang, sebagian pemikir Islam memilih untuk tidak mengkaitkan agama (Islam) dengan negara. Agama dalam pandangan ini adalah adalah satu hal, sementara negara adalah hal lain yang berbeda. Seperti Nawal el Saadawi, seorang sastrawan besar di Mesir yang pernah melontarkan kritik keras terhadap apa yang disebut Negara Islam. Menurutnya, negara tidak punya jenis kelamin agama (baca: tidak beragama) karena yang beragama adalah manusia. Dalam hal ini, Nawal el Saadawi menyatakan: “ People who think that state is Islam have not studied Islam. The state is nothing to do with Islam”. (The Jakarta Post, November, 27, 2006).

Namun, saya tidak sepenuhnya sepakat dengan Nawal El Saadawi karena secara de facto masyarakat Islam sudah bersinggungan dengan politik Islam sejak masa Rasulullah Saw. hingga masa sekarang. Tak mengherankan jika Montgomory Watt dalam buku Muhammad Prophet and Statesman mengatakan bahwa Muhammad bukan hanya seorang nabi, namun juga seorang kepala Negara (negarawan). (W. Montgomery Watt: 1961, 94-95). Di samping itu juga, jika kita tengok ke belakang, kala Muhammad menjadi kepala negara, semua unsur negara modern sudah terpenuhi seperti wilayah, penduduk, pemerintahan dan juga kedaulatan.

Di sinilah, makanya saya lebih senang menggunakan perspektif paradigma simbiotik (symbiotic paradigm). Dalam paradigma ini, posisi agama dan negara berhubungan secara simbiotik yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara karena dengan negara (daulah), agama dapat berkembang. Demikian sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spritualnya. Sehingga, dalam paradigma ini, baik agama dan negara saling menguatkan dan mengukuhkan.

Paradigma ini senada dengan pandangan Gus Dur yang menyebut agama sebagai ruh atau spirit yang harus masuk ke dalam negara. Sementara, bagi mantan Presiden RI ke-4 tersebut, negara adalah badan atau raga yang mesti membutuhkan negara. Dalam konsep Gus Dur, keberadaan negara tidak bisa dilihat semata-mata hasil kontrak sosial (yang sekuler), namun, bahwa negara dipandang sebagai jasad yang membutuhkan idealisme ketuhanan. Agama, dalam konteks ini, lebih ditempatkan sebagai subtansi untuk menuju cita-cita keadilan semesta. (Masdar F. Mas’udi: 1993, xiv-xvi).

Pilihan paradigma di atas jelas menegasikan dua paradigma lain yang berada di kutub ekstrem. Pertama, paradigma integralistik yang memandang agama dan negara menyatu. Wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara selain lembaga politik juga lembaga keagamaan. Pandangan yang sering disebut dengan istilah al-Islam din wa daulah ini dipraktekkan oleh Syi’ah. Kedua, di ekstrem yang lain, paradigm sekuler yang mengajukan pemisahan agama dan negara. Paradigma yang dimotori oleh Ali Abd ar-Raziq ini (1887-1966 M) menolak pendasaran negara pada agama (Islam). Pemikiran paradigma ini didasarkan asumsi bahwa Muhammad murni sebagai pendakwah Islam dan sama sekali tidak pernah menjadi kepala Negara.

Bertolak dari paradigma yang saya ajukan di atas ini, maka jika ditanya: apakah cita-cita Politik Islam, saya mengatakan bahwa cita-cita politik Islam adalah sama dengan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Cita-cita Indonesia merdeka adalah, seperti kata Soekarno, menjadi “jembatan emas” untuk mencapai cita-cita negara Indonesia. Adapun cita-cita negara ini, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, adalah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia akan tercapai. Pada tahap selanjutnya, cita-cita tersebut diderivasikan lebih lanjut dalam batang tubuh UUD 45, seperti kesamaan di depan hukum, kebebasan berserikat dan berpolitik, serta mengenai kesejahteraan sosial seperti tanggung jawab negara terhadap rakyat miskin, serta mengenai demokrasi ekonomi.

Secara normatif, cita-cita kemerdekaan ini sejalan dengan cita-cita politik Islam. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyah misalnya menyebut tujuan sebuah negara adalah lihiraasatiddin wa siyasatid dunya. (Abu Hasan Al-Mawardi: tt, 6). Artinya, untuk memelihara agama dan mengatur dunia. Secara derivatif, pandangan ini dikukuhkan oleh Imam Al-Ghazali yang dikutip Abu Zahro yang menyebut ad-dlariyatul khams sebagai pilar yang mesti diacu oleh sebuah Negara. Yakni., memelihara agama (hifdz ad-din), memelihara jiwa (hifdz an-nafs), memelihara akal (hifd al-aql), memelihara keturunan (hifdz an-nasl) dan memelihara harta (hifdz al-mal). (Muhammad Abu Zahro: 1994, 548-553)

Kekuasaan negara, oleh karena itu, dikukuhkan untuk pemenuhan lima hal pokok yang dijaga dalam Islam ini. Sebut misalnya keberpihakan pada kaum miskin (mustadz’afin) dalam bentuk pelayanan kesehatan di negeri ini harus dilihat dalam perspektif hifdz an-nafs (memelihara jiwa). Demikian juga pengutamaan anak bangsa dalam urusan kesejahteraan dibanding negeri asing ketika menentukan mana yang lebih penting: perusahaan anak negeri atau perusahaan asing yang mesti mengelola, harus dilihat dalam konteks hifdz al-mal warga negara Indonesia.

Hanya saja, secara realitas, apa yang dicita-citakan masih jauh dari kenyataan. Alih-alih menuju cita-cita kemerdekaan ini, kadang kala cita ini dibelokkan ke arah yang bertolak belakang dengan cita-cita kemerdekaan. Neo-liberalisme yang menggurita, korupsi yang meraja lela, pemenuhan hak orang miskin yang terabaikan, dan segudang masalah lain, adalah bentuk anti klimaks cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Sudah semestinya energi bangasa ini kita fokuskan untuk menggapai cita-cita itu, bukan malah mengganti ideologi NKRI dengan sistem khilafah dan atau komunisme.

Dengan kata lain, secara konsep, Indonesia sudah final. Namun, secara praktek, Indonesia masih belum (dan jauh dari) final. Dalam proses pencapaian cita-cita dan tujuan negara Indonesia yang final, aral dan hambatan senantiasa melintang. Cita-cita juga tidak bisa seratus persen digapai. Last but not least, cita-cita ini memang suatu saat nanti akan terwujud, kendati yang kita lihat baru berapa persennya saja. Yang kita lakukan secara kolektif tanpa melihat ras, agama dan aliran adalah melakukan ikhtiar sekuat mungkin dan yang terbaik untuk mencapai cita-cita tersebut.

Di sinilah, kita bisa menengok prinsip dasar yang digunakan dalam mencapai cita-cita tersebut sebagai pedoman dalam pengelolaan pemerintah yang bersih dan berwibawa, sebagaimana berikut:

Pertama, tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manutun bil maslahah al-ammah. Kebijakan penguasa atas rakyat didasarkan pada kemaslahatan umum. Penguasa harus mengutamakan rakyat umum, bukan segelintir orang, golongan atau kelompok kepentingan tertentu. Rakyat adalah segalanya. Fox populi fox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan yang harus didengar dan diwujudkan dalam kehidupan keseharian. Mewujudkan cita-cita rakyat umum adalah sama dengan mewujudkan keinginan Tuhan dalam kehidupan.

Kedua, prinsip dar’ul mafasid ‘ala jalbil mashalih. Artinya, mendahulukan menghindari bahaya daripada melaksanakan kemaslahatan. Penguasa mesti mengupayakan tindakan preventif menghindari bahaya terlebih dahulu dan baru kemudian melaksanakan program yang berbasis kemaslahatan. Prinsip ini bertalian dengan prinsip lain yang berbunyi idza ta’aradla mafsadataani ru’iya a’dlamuha dlararan birtikabi akhaffihima. Apabila terjadi dua bahaya, maka dipertimbangkan bahaya yang paling besar resikonya dengan melaksanakan yang paling ringan resikonya.

Dan Ketiga, prinsip mala yudraku kulluhu la yudraku kulluhu. Maksudnya, kewajiban yang tidak mungkin diwujudkan secara utuh tidak boleh ditinggalkan semuanya. Kita harus menyadari bahwa upaya yang kita lakukan bisa diperoleh secara bertahap dan tidak sekaligus. Apa yang sudah kita capai harus kita syukuri sembari terus melakukan evaluasi untuk senantiasa melakukan perbaikan dan perbaikan. Saya tidak sepakat dengan pernyataan politik beberapa plotisi dan pengamat di beberapa media yang selalu menyudutkan dan (selalu) menyalahkan Indonesia.

Bagaimanapun, untuk mencapai cita-cita Indonesia, tidak mudah semudah membalik telapak tangan. Memperbaiki negeri ini tidak bisa dengan cara hanya mengkritik dan apalagi mencaci maki pengelola negeri ini. Kita harus memulai agenda besar mencapai cita-cita Indonesia ini dengan “bangga menjadi Indonesia”. Indonesia laksana rumah besar bersama kita. Kalau ada yang rusak dan bocor misalnya, mesti kita perbaiki bersama. Dan tentunya, kita tidak perlu merobohkan rumah Indonesia yang kita cintai ini. Selain itu, kita harus melakukan upaya cita-cita kemerdekaan ini secara massif dan progresif di tempat dimana kita berada dan lalu bersinergi satu dengan yang lain dengan tanpa mengabaikan kemajemukan bangsa ini. 

Semoga. ***

Bagikan :

Facebook
WhatsApp
Telegram

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Postingan Terkait

LAZAWA Darul Hikam Kembali Salurkan Daging Kurban untuk Para Dluafa

Jember – Dalam semangat Idul Adha 1446 H, Lembaga Zakat dan Wakaf (LAZAWA) Darul Hikam kembali menyalurkan hewan kurban dari para donatur kepada masyarakat yang membutuhkan. Tahun ini, LAZAWA Darul Hikam menyembelih satu ekor sapi atas nama Sahra binti Yusuf, Buang bin Hodri, dan Ririn Chusniah binti Ahlul Hikam, serta satu ekor kambing atas nama Wildan Rofikil Anwar. Penyembelihan ini menjadi wujud komitmen lembaga dalam mengelola amanah kurban secara profesional dan penuh tanggung jawab. Penyembelihan dilakukan pada Sabtu, 07 Juni 2025 di lingkungan Pondok Pesantren Darul Hikam Putra, Ajung, Jember, Jawa Timur, dengan melibatkan para pengurus LAZAWA Darul Hikam dan para mahasantri. Daging kurban kemudian didistribusikan kepada 120 orang mustahik, terdiri dari warga kurang mampu, santri, dan kaum dhuafa di wilayah Jember, khususnya di Kecamatan Ajung, Kaliwates, dan Sumbersari. Nazhir LAZAWA Darul Hikam, M. Irwan Zamroni Ali, S.H., M.H menyampaikan bahwa proses penyembelihan hingga distribusi kurban berjalan dengan lancar dan sesuai syariat. Ia menekankan bahwa amanah dari para donatur adalah tanggung jawab besar yang harus dikelola secara amanah dan transparan. “Alhamdulillah, tahun ini kami kembali dipercaya menyalurkan hewan kurban dari para donatur. Kami pastikan setiap tahapan dilakukan sesuai syariat Islam, mulai dari penyembelihan hingga pendistribusian. Semoga setiap tetes darah hewan kurban ini menjadi amal jariyah bagi para donatur,” ujar Irwan. Menurutnya, LAZAWA Darul Hikam tidak hanya menjalankan fungsi sosial semata, tetapi juga sebagai lembaga yang terus mendorong nilai-nilai kepedulian dan kebersamaan dalam masyarakat. Penyembelihan kurban ini menjadi momentum penting untuk memperkuat solidaritas umat, terutama dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil. Sementara itu, Direktur LAZAWA Darul Hikam, Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin, S.Ag., S.H., M. Fil.I., CLA., CWC., menyampaikan apresiasinya kepada para donatur yang telah mempercayakan ibadah kurban melalui lembaga yang ia pimpin. Ia menyebut bahwa kurban bukan hanya ibadah ritual, melainkan sarana membangun kepedulian sosial secara konkret. “Kurban adalah bentuk nyata solidaritas umat Islam. Melalui LAZAWA Darul Hikam, kami ingin memastikan bahwa semangat ibadah ini benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan. Terima kasih kepada para donatur yang telah menunaikan ibadah kurban bersama kami. Semoga Allah lipatgandakan pahalanya dan menjadikannya wasilah keberkahan hidup,” ungkap Prof. Haris. Ia menambahkan bahwa LAZAWA Darul Hikam akan terus memperluas jangkauan distribusi kurban dan program sosial lainnya, baik di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional. Dengan sistem pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan wakaf yang semakin profesional, Prof. Haris optimistis lembaga ini akan terus memberikan kontribusi nyata bagi kemaslahatan umat. Program kurban tahun ini juga menjadi bagian dari rangkaian kegiatan dakwah sosial yang secara rutin dilakukan oleh LAZAWA Darul Hikam. Selain distribusi daging kurban, lembaga ini juga aktif dalam pemberdayaan umat, dakwah, hingga pembangunan sarana ibadah dan pendidikan. Dengan semangat “Berbagi untuk Kebaikan”, LAZAWA Darul Hikam terus mengajak masyarakat untuk bersinergi dalam membangun peradaban yang lebih adil dan sejahtera melalui zakat dan wakaf. Reporter : Iklil Naufal Umar Editor : Ravi Maulana

Kolaborasi PCINU Rusia dan Lazawa Darul Hikam Indonesia Wujudkan Kurban di Negeri Beruang Merah

Moskow – Semangat berkurban tahun ini kembali digaungkan oleh Lazisnu PCI NU Rusia namun dengan sentuhan berbeda. Untuk pertama kalinya, pelaksanaan penyembelihan hewan kurban di Rusia pada Jumat, 6 Juni 2025, dilakukan melalui kerja sama strategis dengan Lazawa Darul Hikam Indonesia, yaf dikenal aktif menjalin dengan mitra strategis dunia. Kolaborasi ini menjadi langkah penting dalam memperluas jangkauan program sosial keagamaan sekaligus memperkuat jaringan antar-lembaga Islam di kancah global. Ketua Tanfidziyah PCINU Rusia, Amy Maulana mengungkapkan alasan utama menggandeng Lazawa Darul Hikam Indonesia dalam pelaksanaan program kurban tahun ini. “Kami memilih berkolaborasi dengan Lazawa Darul Hikam Indonesia karena mereka aktif menjalin hubungan dengan diaspora, termasuk PCNU luar negeri. Kolaborasi ini memperkuat gerakan sosial Islam lintas batas negara, dan kami berharap kerja sama seperti ini bisa terus dilakukan setiap tahun,” ujar Amy sapaan akrabnya. Menurut Amy, kegiatan penyembelihan kurban di Rusia bukanlah hal baru. Sejak tahun 2020, LAZISNU PCINU Rusia rutin menyelenggarakan program ini setiap Idul Adha. Namun tahun ini menjadi spesial karena hadirnya mitra strategis dari Indonesia yang memberikan dukungan tidak hanya secara finansial, tetapi juga secara kelembagaan. Dukungan dari Lazawa Darul Hikam juga memungkinkan pelibatan lebih luas para donatur dari Indonesia yang ingin berkurban di Rusia. Mereka difasilitasi untuk menyalurkan kurban melalui kanal resmi, yang hasilnya langsung dirasakan oleh masyarakat muslim setempat dan diaspora Indonesia di Moskow dan Kazan. Amy menekankan bahwa kerja sama ini tidak hanya soal teknis penyaluran kurban, tetapi juga sebagai bentuk diplomasi umat Islam Indonesia yang membawa wajah Islam moderat dan peduli ke panggung internasional. “Dengan adanya kegiatan seperti ini, kami bisa menunjukkan bahwa muslim Indonesia adalah bagian dari komunitas muslim global yang aktif membantu sesama. Ini juga menjadi sarana diplomasi, mengenalkan nilai-nilai Islam ala Indonesia yang ramah dan inklusif,” tutur Amy. Program ini turut mendapat sambutan hangat dari komunitas muslim di Rusia. Mereka menilai inisiatif tersebut sebagai jembatan persaudaraan antara dua negara dengan populasi muslim yang besar. Amy menambahkan, “Apresiasi sangat besar dari komunitas muslim Rusia karena ini bukan hanya soal daging kurban, tapi soal solidaritas antarumat.” Kerja sama antara LAZISNU PCINU Rusia dan Lazawa Darul Hikam juga melibatkan banyak pihak lainnya, termasuk mahasiswa dan organisasi masyarakat Indonesia yang berdomisili di Rusia, seperti Permira, HPII, Muhammadiyah, dan ICMI wilayah Rusia. Direktur Lazawa Darul Hikam, Prof. Dr. HM. Noor Harisudin, menyampaikan bahwa pelaksanaan kurban di luar negeri merupakan inovasi baru di tahun 2025. Langkah ini menjadi titik awal bagi lembaga yang berbasis di Jawa Timur itu dalam memperluas cakupan distribusi zakat, infak, sedekah, dan kurban ke kancah global. “Ini adalah inovasi program kurban tahun 2025. Pertama kalinya Lazawa Darul Hikam melakukan penyembelihan dan penyaluran kurban di luar negeri,” ujar Prof. Haris. Menurutnya, meskipun volume kurban yang disalurkan kali ini belum besar, kegiatan ini menjadi fondasi penting bagi agenda internasionalisasi program-program sosial keagamaan Lazawa ke depannya. “Meskipun masih belum banyak, tapi ini adalah langkah awal untuk melakukan internasionalisasi program. Jadi program-program kita tidak hanya lokal, tidak hanya nasional, tapi juga internasional,” ungkap Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember itu. Ia juga menegaskan bahwa ekspansi ini akan terus diperluas ke berbagai belahan dunia agar manfaat dari kurban dan zakat semakin dirasakan oleh umat Islam global. “Ke depan kita akan lebih masif lagi ke Rusia dan beberapa negara lain di seluruh dunia. Dan kami berharap para donatur juga semakin banyak dan semakin bisa memberikan manfaat pada umat Islam di seluruh dunia,” imbuhnya. Dalam kesempatan itu, Prof. Haris juga menyampaikan apresiasi kepada para mitra di Rusia yang telah mendukung program ini, serta ucapan terima kasih kepada para donatur yang telah mempercayakan kurban mereka melalui Lazawa Darul Hikam. “Terima kasih Ustadz Amy Maulana (Ketua Tanfidziyah PCINU Rusia) bisa berkolaborasi untuk pemberian manfaat yang lebih luas ke masyarakat dunia. Terima kasih kepada tim dari Lazawa Darul Hikam, terima kasih pada orang yang berkurban, para donatur yang selama ini telah mensupport Lembaga Zakat dan Wakaf Darul Hikam sehingga semakin hari semakin tambah besar dan menjadi luar biasa,” tutupnya. Langkah ekspansif ini menandai arah baru Lazawa Darul Hikam dalam menjadikan kurban tidak hanya sebagai ibadah individu, tetapi juga sebagai instrumen diplomasi kemanusiaan lintas negara. Reporter : Ravi Maulana Editor : Wildan Rofikil Anwar

Seminar Internasional di UIN Bukittinggi, Prof. Harisudin Bahas UU Sekuler Perspektif Maqashid Syariah

Media Center Darul Hikam – Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Prof. Dr. HM. Noor Harisudin, S.Ag, SH, M.Fil.I, CLA, CWC, menyampaikan gagasan strategis mengenai pentingnya pendekatan Maqashid Syariah dalam memahami dan menilai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Gagasan tersebut disampaikan dalam “5th International Seminar on Islamic Law” yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah Syekh M. Djamil Djambek, UIN Bukittinggi, pada Selasa, 3 Juni 2025. Dalam pemaparannya yang berjudul “Pengaturan Undang-Undang di Indonesia dalam Perspektif Maqashidus Syariah”, Prof. Haris menegaskan bahwa pendekatan Maqashid Syariah harus menjadi landasan penting dalam menilai dan mengkaji substansi regulasi yang berlaku di Indonesia. Menurutnya, meskipun Indonesia bukan negara agama atau negara Islam, tetapi juga bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara Pancasila, dan nilai-nilai Pancasila sejatinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat Islam. “Indonesia adalah negara Pancasila, dan Pancasila sendiri sesuai dengan syariah Islam. Artinya, produk hukum yang dihasilkan dalam sistem hukum nasional bisa dan harus ditelaah melalui pendekatan maqashid,” tegas Prof Haris yang juga Direktur World Moslem Studies Center (Womester). Lebih jauh, Prof. Haris menjelaskan bahwa sebagian peraturan perundang-undangan di Indonesia sejatinya bersumber dari fiqh Islam yang telah melalui proses taqnin (kodifikasi) dan pada akhirnya menjadi bagian dari positive law. Namun, banyak pula undang-undang yang tidak secara langsung berasal dari hukum Islam. Dalam konteks ini, ia menyarankan penggunaan Maqashid Syariah sebagai alat analisis normatif dan filosofis terhadap hukum positif, untuk menguji sejauh mana suatu peraturan mengandung nilai keadilan, maslahat, dan kebijaksanaan. Sebagai Ketua Umum PP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara sekaligus Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pelatihan MUI Jawa Timur, Prof. Haris menyampaikan bahwa dalam sistem legislasi Indonesia, kewenangan pembuatan undang-undang berada di tangan DPR dan Presiden. Namun, produk hukum yang dihasilkan tidak boleh lepas dari prinsip-prinsip moralitas publik dan maqashid syariah. Ia juga memaparkan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011. Dalam penjelasannya, ia menekankan pentingnya memahami prinsip-prinsip hukum seperti lex superior derogat legi inferiori, lex specialis derogat legi generali, lex posteriori derogat legi priori, dan asas bahwa suatu peraturan hanya dapat dicabut oleh peraturan yang sederajat atau lebih tinggi. Prinsip-prinsip ini, menurutnya, sejalan dengan struktur berpikir dalam hukum Islam yang rasional, sistematis, dan maslahat-oriented. Dalam kerangka maqashid, Prof. Haris menguraikan pemikiran tokoh-tokoh besar Islam seperti Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Imam al-Ghazali, dan Jamaludin Atiyah. Ia menyampaikan bahwa maqashid tidak hanya menyangkut kepentingan individu, tetapi juga mencakup kepentingan keluarga, umat, dan kemanusiaan secara luas. Dalam konteks ini, hukum yang berlaku harus mampu menjaga agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), harta (hifz al-mal), dan keturunan (hifz al-nasl). Prof. Haris yang juga Pengasuh PP. Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember menyoroti bahwa undang-undang yang telah ditelaah dari perspektif maqashid dan terbukti mengandung kemaslahatan, meskipun pada asalnya bersifat mubah (boleh), dapat menjadi wajib untuk ditaati oleh umat Islam. Ia mengutip pendapat Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain, bahwa pemerintah berwenang menjadikan suatu perbuatan yang mubah menjadi wajib jika hal itu mengandung kemaslahatan umum. “Perbuatan yang mubah jika ditetapkan pemerintah menjadi wajib, maka umat wajib mengikutinya demi kemaslahatan umum. Ini adalah bentuk ketaatan terhadap otoritas syar’i dan negara,” jelasnya. Selain itu, ia mengingatkan bahwa penentuan maslahat dalam suatu peraturan tidak bisa dilakukan secara individual, melainkan melalui proses ijtihad kolektif (ijtihad jama’i) oleh lembaga yang berkompeten dan berdasarkan data ilmiah serta pertimbangan teknologi. Pemaparan Prof. Haris ini mendapatkan apresiasi tinggi dari para peserta seminar yang terdiri dari akademisi, mahasiswa, peneliti, serta praktisi hukum dari dalam dan luar negeri. Banyak yang menilai bahwa pendekatan maqashid yang dikembangkan dalam konteks hukum nasional merupakan terobosan konseptual yang penting di era modern, khususnya dalam kerangka integrasi hukum Islam dengan sistem hukum negara. Selain Prof M Noor Harisudin, seminar internasional ini dihadiri para nara sumber bereputasi internasional seperti Ass. Profesor Dr Wan Mohd Yusof Wan Chik (Univ Sultan Zainal Abidin Malaysia), Prof. Dr. Abd Qadir Haron (International Islamic University Islamabad Pakistan), dan Prof. Dr. Busyro (UIN Bukittinggi). Sebelumnya, Dekan Fakultas Syariah UIN Bukittinggi, Prof. Dr. H. Ismail juga hadir membuka dan menyampaikan sambutan pembukaan. Seminar Internasional yang dimulai jam 08.00 dan selesai jam 12.10 WIB via zoom meeting berlangsung seru dan khidmat. Reporter : Wildan Rofikil AnwarEditor : M. Irwan Zamroni Ali

Ingin Dampak Nyata, Lazawa Darul Hikam Belajar Inovasi Wakaf ke Yayasan Masjid Salman ITB

Bandung, 28 Mei 2025Meski telah mencapai sejumlah pencapaian penting dalam satu tahun terakhir, Lembaga Zakat dan Wakaf (Lazawa) Darul Hikam tak lantas berpuas diri. Demi menjaga relevansi dan daya saing di tengah perkembangan zaman, Lazawa Darul Hikam terus berinovasi—termasuk dengan belajar langsung ke Yayasan Masjid Salman ITB, Bandung. Kunjungan tersebut dilaksanakan pada Rabu, 28 Mei 2025, pukul 09.00–12.00 WIB. Rombongan Lazawa dipimpin oleh Direktur Wakaf Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin, S.Ag., SH., M.Fil.I., CLA., CWC., bersama Dewan Pengawas KH. Moh. Romli, M.Pd.I., dan Bendahara Robiatul Adawiyah, SHI., MH. Mereka disambut hangat oleh Pembina Salman ITB, KH. Achmad Nasir Budiman, SH, Direktur Utama Wakaf Ir. Hari Utomo, MBA serta General Manager Bayu R. Ardiansyah. Di awal pertemuan, KH. Achmad Nasir Budiman mengisahkan sejarah berdirinya Masjid Salman yang begitu ikonik di lingkungan kampus ITB. “Selamat datang di Wakaf Salman ITB. Saya ingin berbagi sedikit tentang sejarah masjid ini. Aktivis Masjid Salman adalah perpaduan antara kalangan priyayi dan santri, sebuah kekuatan yang membentuk karakter pergerakan masjid ini. Dari sinilah lahir berbagai inovasi,” ujar Kiai Nasir yang juga dikenal sebagai kader Bang Imad, seorang ideolog Islam terkemuka di Masjid Salman. Ia menambahkan, Masjid Salman merupakan salah satu masjid kampus paling legendaris di Indonesia. Meski pendiriannya sempat menghadapi tantangan, pada akhirnya masjid tersebut berdiri dengan restu Presiden Ir. Soekarno. Rektor ITB kala itu, Prof. Ir. O. Kosasih, turut memberi dukungan, sehingga pada 5 Mei 1972 Masjid Salman secara resmi menggelar salat Jumat perdana. Sementara itu, Direktur Utama Wakaf Salman, Ir. Hari Utomo, MBA menjelaskan struktur manajerial lembaga yang berada di bawah naungan Yayasan Masjid Salman ITB. “Kami beroperasi di bawah Yayasan Masjid Salman ITB. Unit zakat kini sudah berdiri sendiri dengan nama Rumah Amal, namun tetap berada dalam koordinasi yayasan. Dulu, kami juga belajar ke berbagai tempat, seperti halnya Darul Hikam hari ini,” ujar Hari Utomo. Didirikan pada tahun 2017, Wakaf Salman kini berkembang pesat dan menjangkau berbagai wilayah di Indonesia. “Saat ini kami memiliki 30 karyawan. Pada tahun 2024 lalu, kami berhasil menghimpun dana wakaf sebesar Rp26 miliar. Dana ini kami salurkan untuk berbagai program inovatif,” jelas Hari yang juga dikenal sebagai seorang pengusaha. Menutup sesi diskusi, General Manager Bayu R. Ardiansyah memaparkan sejumlah program unggulan Wakaf Salman. “Salah satu program andalan kami adalah pembangunan masjid wakaf. Ada masjid yang kami danai 100 persen, seperti di Kampung Badui, dan ada pula yang didanai sebagian sesuai kebutuhan. Termasuk juga masjid yang kami bantu di Palestina,” ungkap Bayu, alumnus ITB. Ia juga menyoroti program wakaf sumur sebagai bentuk inovasi lainnya. “Kami mengembangkan berbagai proyek wakaf sumur yang menjangkau daerah terpencil, dari Aceh hingga Papua. Skemanya beragam, mulai dari pipanisasi, pembangunan MCK, hingga pemberdayaan masyarakat lokal,” tambahnya. Menanggapi kunjungan tersebut, Prof. M. Noor Harisudin menyampaikan apresiasi yang mendalam atas sambutan dan ilmu yang diberikan. “Kami sangat berterima kasih atas sambutan hangat dan sesi berbagi yang inspiratif ini. Banyak wawasan baru yang kami peroleh dan insyaaAllah akan segera ditindaklanjuti. Kami juga membuka peluang kerja sama ke depan,” ungkap Prof. Haris, yang juga dikenal sebagai dai internasional. Bagi tim Lazawa Darul Hikam, kunjungan ini menjadi pengalaman berharga. Ilmu dan wawasan dari Salman ITB menjadi bekal penting dalam memperkuat peran wakaf di Darul Hikam Jember. Semoga Lazawa Darul Hikam terus tumbuh menjadi lembaga zakat dan wakaf yang maju dan berdampak luas. Reporter: Wildan Rofikil AnwarEditor: M. Irwan Zamroni Ali