Media Center Darul Hikam- Kerap kali berbagai isu terkait implementasi fiqih di negara mayoritas non-muslim menjadi pertanyaan di masyarakat. Maka dari itu Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Wellington menjawab tantangan tersebut dengan menyelenggarakan Webinar Nasional bertajuk, “Implementasi Fiqih Di Negara Mayoritas Non-Muslim”, secara virtual melalui aplikasi Zoom Meeting dan Live Youtube pada Senin (13/12) pukul 12.00 WIB-selesai.
Acara diawali dengan Keynote Speech dari Duta Besar (Dubes) RI Wellington New Zealand, H.E. Tantowi Yahya menyoroti kondisi beragama kaum muslim sebagai kaum minoritas.
“Selandia Baru ini negara dengan mayoritas non-muslim, namun kehidupan beragama di sini cukup menarik,” ujar Tantowi Yahya.
Berdasarkan data sensus terakhir, jumlah kaum muslim di Selandia Baru hanya sekitar 1,1% atau dalam angka 57.278 jiwa dari jumlah penduduk negara secara keseluruhan. Meskipun dalam jumlah yang cukup sedikit dibandingkan dengan kaum beragama lainnya, namun Islam mampu memberikan warna sebagai karakter agama yang cinta damai dengan membangun hubungan horizontal dan vertikal melalui organisasi Umat Muslim Indonesia (UMI) dan Himpunan Umat Muslim Indonesia (HUMIA).
“Beberapa kali Selandia Baru dinobatkan oleh Islam Foundation yang ada di Amerika sebagai negara yang paling Islami,” tutur Tantowi Yahya.
Hal tersebut tidak lain disebabkan pengimplementasian prinsip islami dalam kehidupan sehari-hari oleh semua warga, tanpa terkecuali non-muslim. Warga selandia Baru yang non muslim tidak mengenal konsep rukun Islam sehingga tidak melaksanakan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Namun prinisp Islam dilaksanakan secara inheren dalam kehidupan sehari hari.
“Selandia Baru ini negara bersih secara harfiah, artinya memang negaranya bersih. Lautnya bersih, airnya bersih, tanahnya bersih. Begitupun dengan pemerintahannya. Tingkat korupsi di sini nol,” jelasnya.
Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan pemaparan materi dari narasumber, Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Jember, Prof. Dr. Kiai. M. Noor Harisudin, M. Fil. I., mengawali penjelasannya dengan QS. Al-Anbiya’: 107 yang artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. Ayat tersebut menjelaskan bahwa agama Islam datang dengan syariatnya sebagai rahmat bagi seluruh alam dan tentunya membawa kemaslahatan untuk manusia.
Dijelaskan pula 3 unsur pokok dalam agama Islam terbagi menjadi 3 bagian yaitu aqidah, syariat, dan akhlak.
“Jika diibaratkan dari sebuah pohon Islam. Aqidah itu adalah sebuah kepercayaan, ini sebagai akarnya. Kalau akidahnya sudah tidak kuat, otomatis pasti akan goyah. Bagian batangnya diibaratkan sebagai syariat. Kalau akidah dan syariatnya sudah kuat maka akan menghasilkan buah yang baik yaitu akhlak,” jelas Prof. Harisudin yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.
Dalam penuturannya, Wakil Ketua PW LDNU Jatim tersebut menjelaskan jenis-jenis syariat. Syariat terbagi menjadi dua yaitu syariat tetap (tsawabit) dan syariat yang bisa berubah (mutaghayirat), yang kemudian disebut dengan fiqih.
“Perintah shalat itu sudah ada di al-Qur’an, syariat (aturan dari Allah) itu sudah ada. Tapi kalau perintilannya, detail-detailnya, gimana caranya ruku’ dan lain-lain itu nantinya yang akan dibahas dalam fiqih. Misalnya contoh tata cara shalat lima waktu di kutub itu bagaimana, itulah yang masuk di fiqih,” ungkap Prof. Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur.
Implementasi fiqih di negara mayoritas non-muslim memiliki beberapa indikator, diantaranya regulasi dan kebijakan belum berpihak pada kaum muslim, adat istiadat yang berbeda, fasilitas ibadah yang sangat terbatas, kesulitan mencari makanan halal, dan lain-lain. Hal tersebut seringkali menjadi problematika oleh kaum muslim minoritas negara lain.
“Ada beberapa hal yang membuat hukum itu berubah, berbeda dengan kondisi di negara mayoritas muslim. Karena yang dipertimbangkan adalah kemaslahatan,” pungkas Prof. Haris yang juga sebagai Ketua Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.
Reporter: Lia Amelia Rahmah
Editor: Erni Fitriani