
Tangerang – Penyusunan standar mutu Ma’had Aly jenjang Marhalah Tsaniyah (M2) dan Marhalah Tsalitsah (M3) terus dimatangkan Majelis Masyayikh melalui tim task force nasional yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Kegiatan ini berlangsung pada 23–25 Juni 2025 di Kota Tangerang Selatan, diikuti oleh tim penyusun, para pakar, dan unsur pemerintah melalui Kementerian Agama RI.
Kegiatan yang dikemas secara intensif dan kolaboratif dalam format Konsinyering Percepatan Draf Dokumen Standar Mutu Pendidikan Pesantren Pada Ma’had Aly ini merupakan bagian dari upaya strategis Majelis Masyayikh dalam membangun ekosistem pendidikan tinggi pesantren di Indonesia sebagaimana amanat UU Pesanren.
Ketua tim task force, K.H. Muhyiddin Khotib yang juga Sekretaris Majelis Masyayikh, menegaskan pentingnya menjadikan Ma’had Aly sebagai entitas keilmuan yang tidak hanya mengandalkan pendekatan akademik, tetapi juga mempertahankan nilai-nilai adab dan sanad dalam tradisi pesantren.
“Ma’had Aly bukan sekadar institusi. Ia adalah entitas ilmu; simbol warisan otoritas keilmuan yang bersambung melalui sanad. Di sini, ilmu bukan sekadar dipelajari, tapi diwarisi dengan adab dan makna,” tegasnya.
Menurutnya, setiap jenjang pendidikan di Ma’had Aly harus memiliki karakter keilmuan yang khas. Marhalah Ula menjadi fase tadrīb (latihan metodologis dasar), Marhalah Tsaniyah sebagai fase taqwiyah (penguatan dan sintesis), dan Marhalah Tsalitsah sebagai fase tamkīn (kematangan berpikir dan kontribusi berbasis ilmu).
K.H. Muhyiddin juga mengingatkan pentingnya harmonisasi dalam penyusunan standar mutu. Ia menekankan tiga dimensi koherensi: horizontal antar-standar dalam jenjang yang sama, vertikal antar-jenjang, dan diagonal antara nilai-nilai filosofis dan indikator teknis.
“Standar mutu harus berpijak pada epistemologi turats: teks, sanad, manhaj, dan adab. Kita tidak ingin standar yang kering dan kehilangan ruh karena terlalu administratif,” tambahnya.
Sementara itu, anggota divisi Ma’had Aly Majelis Masyayikh Tgk. Faisal Ali, menekankan bahwa Ma’had Aly memiliki peran strategis dalam memperkuat sumber daya manusia Indonesia yang berakar pada nilai Islam dan budaya bangsa.
“Kita tidak sedang meniru model universitas umum. Kita justru sedang meneguhkan jati diri pesantren sebagai penyelenggara pendidikan tinggi yang khas, berbasis kitab kuning dan nilai-nilai adab,” ujar Abu Faisal.
Ia menambahkan bahwa standar yang disusun harus memberi ruang bagi keragaman takhassus dan tradisi pesantren yang hidup. Selain itu, Ma’had Aly harus mampu menjadi rumah keilmuan Islam yang diwariskan melalui sanad, serta menjadi kompas dalam membimbing umat di tengah dinamika zaman.
Majelis Masyayikh menegaskan bahwa penyusunan standar mutu ini bukan hanya penguatan kualitas kelembagaan, melainkan bagian dari cita-cita besar menjaga keberlanjutan ulama sebagai pewaris tradisi keilmuan berbasis pesantren. Dengan standar yang kokoh dan berakar, Ma’had Aly diharapkan tampil sebagai pilar keilmuan yang mampu merespons zaman tanpa meninggalkan akar warisan pesantren.