
Fikih Nusantara adalah bagian dari Islam Nusantara. Islam Nusantara adalah Islam yang dipraktikkan, tumbuh dan berkembang di Nusantara. Dalam Islam Nusantara, ada tasawuf Islam Nusantara, Dakwah Islam Nusantara, Budaya Islam Nusantara, dan sebagainya.
Demikian disampaikan oleh Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin, S.Ag., S.H., M.Fil.I., CLA., CWC. dalam Kuliah Umum “Fiqh Nusantara, Pancasila dan Sistem Hukum Nasional di Indonesia” yang digelar oleh Fakultas Syariah UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda pada Selasa, 23 April 2025.

“Istilah Islam Nusantara merujuk pada pengertian Islam yang ada di Nusantara, bukan Islam untuk Nusantara, atau Islam dari Nusantara. Kesalahpahaman orang memahami Islam Nusantara berawal dari makna penggabungan kata yang keliru ini,” ujar Prof Haris yang juga Ketua PP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara.
Sedangkan fikih nusantara adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fikih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara (Indonesia).

Lebih lanjut, Prof Haris menjelaskan bahwa fikih nusantara memiliki empat metode dalam pengambilan hukum yaitu metode maslahah; metode urf atau mempertimbangkan kearifan lokal atau ‘urf di tempatnya masing-masing; metode Sad Dzari’ah Sebagai Metode Preventif, dan metode Tahqiqul Manath dalam Metode Ilmu Dan Sains.
“Fikih Nusantara menguatkan Pancasila sebagai Dasar Negara. Di Indonesia, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Selain Pancasila, ada sumber hukum lain. Agama misalnya adalah sumber hukum karena Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi, hukum agama bukan merupakan hukum jika belum dijadikan UU. Dalam hal ini, hukum agama menjadi sumber hukum materiil, bukan sumber hukum formal yang berlaku,” jelas Prof. Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur.
Dalam kesempatan itu Prof Haris menegaskan bahwa Fikih Nusantara terbukti telah menjadi bagian penting dalam legislasi hukum (taqnin) di Indonesia. Proses pengubahan fikih ini menjadi qanun atau undang-undang disebut dengan taqnin.

“Sementara, qanun adalah hasil dari positivasi hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis. fikih dan fatwa antara lain fatwa DSN MUI dalam konteks keindonesiaan termasuk hukum tidak tertulis, namun bisa dikembangkan menjadi hukum tertulis berdasarkan peraturan perundangan,” tutur Prof Haris yang juga dikenal sebagai Direktur World Moslem Studies Center (Womester).
Sebelumnya, dalam sambutannya, Dekan Fakultas Syariah UIN Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, Prof. Alfitri, M.Ag., LLM., Ph.D menuturkan kegiatan ini penting untuk pencerahan mahasiswa sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan karena tema yang diangkat berkaitan dengan semua Program Studi di Fakultas Syariah UIN Samarinda.
“Topik yang diangkat dalam kegiatan ini sangat relevan dan lintas disiplin, sehingga menjadi bekal penting bagi seluruh mahasiswa di berbagai program studi. Ini merupakan bentuk ikhtiar akademik untuk memperluas cakrawala keilmuan mereka,” ujarnya.

“Prof. Haris merupakan narasumber yang sangat kompeten; beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Islam, dikenal luas melalui berbagai karya ilmiahnya, serta aktif dalam sejumlah organisasi keilmuan. Dengan latar belakang tersebut, beliau sangat tepat untuk membahas materi ini secara mendalam dan komprehensif. Nanti akan dimoderatori langsung Dr. H. Akhmad Haries, MHI,” tambah Prof. Alfitri.
Diketahui Kuliah umum ini disertai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Fakultas Syariah UINSI Samarinda dengan World Moslem Studies Center (WOMESTER) dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan kualitas internasionalisasi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Reporter : M. Irwan Zamroni Ali
Editor : Wildan Rofikil Anwar