Nganjuk, Media Center Darul Hikam
Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I menjadi narasumber dalam acara, ‘Halaqah Fikih Peradaban dalam Rangka Satu Abad NU’, yang bertemakan Fikih Siyasah & Masalah Kaum Minoritas, bertempat di Graha Djalalain Pondok Pesantren Miftahul Ula Nglawak Kertosono Nganjuk, Ahad pagi (16/10/2022).
Prof Haris (sapaan akrabnya) dalam forum tersebut menyampaikan beberapa catatan penting tentang fiqh siyasah dan masalah kelompok minoritas di Indonesia.
Pertama, adalah teori konsep fiqh siyasah yang sampai saat ini belum dikembangkan ke dalam konteks Nation State.
“Kalau kita baca karangan Ibnu Taimiyah berjudul As Siyasah As Syariyah, karangan Imam Al Mawardi kitab Ahkamu Sultoniyah Al Maududy, ini konsepnya masih bukan dalam Nation State (negara bangsa), melainkan konsep monarki/kerajaan,” tuturnya.
“Kita memang tidak bisa meninggalkan Ahkamu Sultoniyah, namun jika hanya Ahkamu Sultoniyah saja yang dipakai, itu kan tidak pas konteksnya dengan jaman sekarang yang menggunakan konsep National State,” tambahnya yang juga Guru Besar UIN KHAS Jember.
Kedua, keputusan bahtsul masail NU dalam konteks fiqh siyasah belum di-update/diperbaharui. Misalnya tentang sebutan negara Indonesia sebagai Darul Islam.
“Terkadang warga NU masih sering kali menyebut Darus Salam, padahal keputusan Muktamar NU Banjarmasin Tahun 1936 menyebutkan bahwa Indonesia adalah Darul Islam,” ungkap Prof Haris yang juga Ketua KP3 MUI Jatim.
Contoh lainnya, NU pada tahun 1950 menetapkan hukum menyulut petasan di bulan Ramadhan sebagai syiar agama. Namun, dalam perkembangannya ketetapan tersebut dirubah menjadi haram karena membahayakan berdasarkan hasil Muktamar NU di Lirboyo tahun 1999.
Catatan ketiga menurut Prof. Haris adalah fiqh NU masih banyak sebatas wacana, baik dari kalangan madrasah, pesantren, lembaga pendidikan Islam. Hanya sedikit yang ditetapkan menjadi qanun/hukum positif.
“Fiqh kita masih living law, ada banyak diskusi, ada banyak musyawarah kitab dan bahtsul masail. Itu semua penting, tapi yang dipraktikkan ada berapa? Yang dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan berapa?,” tegas Prof Haris yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Jember.
Selain itu, Prof. Haris yang juga Ketua PP APHTN-HAN itu menilai, bahwa ada banyak hal dalam peraturan perundang-undangan yang perlu dimasuki hasil keputusan bahtsul masail NU. Karena menurutnya, jikalau hanya sebatas fiqh yang sifatnya living law, maka hasil bahtsul masail hanya menjadi wacana di tengah masyarakat.
“Seperti pendapat madzhab yang sifatnya tidak mengikat, hal ini karena pendapat mazhab adalah fiqh, sehingga ada ruang kebebasan untuk menerapkannya atau tidak, termasuk juga banyaknya perbedaan pendapat,” ucap Prof Haris.
Dengan itu, agar fiqh bisa menjadi qanun, lanjut Prof. Haris, perlu kemudian untuk ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan lainnya.
Lalu bagaimana cara memasukkan hasil Bahtsul Masail ke dalam undang-undang (UU)? Menurutnya yaitu dengan menerapkan paham Ius Constituendum.
“Peraturan perundang-undangan yang tidak cocok, perlu diberikan masukan dan mengajukan pasal perubahannya,” terangnya.
Menurut Prof Haris hasil bahtsul masail harus diteruskan kepada forum yang lebih tinggi, seperti Hukmul Hakim Yarfa’ul Khilaf. Karena keputusan hakim itu sudah mengikat dan menghilangkan perbedaan di kalangan para ulama.
Pada kesempatan itu pula, Prof Haris mengelompokkan beberapa model peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Pertama, redaksi dan subtansi sudah syariah seperti Kompilasi Hukum Islam, KHES, UU wakaf, UU Pesantren dan lain-lain. Kedua, UU yang tidak menggunakan nama syariah tapi secara substansi menggunakan konsep syariah. Misalnya UU tentang Lalu Lintas, UU tentang Perlindungan Konsumen dan lainnya.
Ketiga, redaksi dan subtansi tidak ada label syariah dalam UU, bahkan isinya bertentangan dengan syariah. Misalnya UU tentang Haluan Ideologi Pancasila. Keempat, UU yang secara redaksi syariah, namun subtansinya masih belum syariah.
Reporter: Erni Fitriani
Editor : M. Irwan Zamroni Ali