Media Center Darul Hikam – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) meloloskan Rancangan Undang-Undang anti-Semitisme yang bisa memperluas makna dari anti semitisme di tingkat federal pada Rabu, 1 Mei 2024. RUU tersebut akan mengkodifikasikan definisi anti-Semitisme yang dibuat oleh International Holocaust Remembrance Alliance (IHRA) dalam Judul VI Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964.
RUU tersebut mendapat tantangan besar dari kelompok kebebasan sipil di Amerika Serikat, karena dipandang sebagai reaksi terhadap protes anti-perang yang sedang berlangsung di kampus-kampus universitas AS. Kini, usulan tersebut diserahkan ke Senat untuk dipertimbangkan.
Direktur World Moslem Studies Center (Womester), Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin, S.Ag., S.H., M.Fil.I., CLA., CWC., turut menyesalkan atas diloloskannya RUU anti-Semitisme. Menurutnya, AS yang disebut sebagai negara dan bangsa yang “eksepsional” (istimewa), bahkan juga dikenal sebagai negara adidaya, justru menunjukkan bahwa AS kini berada di bawah dominasi kekuatan Israel.
“Resolusi ini justru membuktikan bahwa AS mengecilkan diri di hadapan negara Israel, sungguh sangat disayangkan dan memalukan,” ujar Prof Haris yang saat ini tengah menjalankan ibadah haji tahun 2024.
Perlu diketahui, definisi anti-Semitisme menurut IHRA adalah “persepsi tertentu terhadap orang Yahudi, yang dapat diungkapkan sebagai kebencian terhadap orang Yahudi. Manifestasi retoris dan fisik anti-Semitisme ditujukan kepada individu Yahudi atau non-Yahudi dan/atau properti mereka, terhadap institusi komunitas Yahudi dan fasilitas keagamaan”.
Di mana dalam perundang-undangan Amerika tersebut, lanjut Prof Haris dinyatakan bahwa mengeritik, apalagi menyerang negara, bangsa dan pemerintahan Israel merupakan anti semitisme yang telah ditetapkan sebagai kejahatan (crime) di Amerika Serikat.
“Bagaimana bisa warga negara yang mengeritik negaranya sendiri dianggap hal wajar bahkan disebut sebagai kebebasan berekspresi dalam negara demokrasi, sedangkan jika di Amerika terdapat orang yang mengeritik, mengingkari dan menyerangnya secara terbuka dianggap sebagai ‘crime’ kejahatan dan pelanggaran terhadap perundang-undangan,” jelasnya.
Menurut Guru Besar UIN KHAS Jember itu, genosida dan pembunuhan massal yang dilakukan oleh rezim Israel di Gaza, termasuk dihalanginya bantuan kemanusiaan dan obat-obatan, sehingga mengakibatkan ancaman kelapangan massal, sungguh tidak bisa masuk di akal, jika perbuatan tersebut dilakukan atas nama ajaran suatu agama.
“Maka dari itu, negara/bangsa tidak logis jika disamakan dengan agama/keyakinan, termasuk Israel disamakan dengan Yahudi. Keduanya sangat berbeda, negara itu Negara itu ‘naturally earthly’ (memilki tabiat bumi/manusiawi). Sementara agama itu ‘naturally heavenly’ (bertabiat langit/suci),” pungkasnya.
Reporter: M. Irwan Zamroni Ali
Editor: Akhmad Kamil Rizani