Perjalanan haji merupakan ritual ibadah yang mulia bagi umat Islam. Ibadah haji, di samping harus memiliki kekuatan fisik yang prima juga tentu membutuhkan harta yang tidak sedikit. Aspek kemampuan (Istithaah) berupa fisik dan harta ini menjadi salah satu prasyarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menunaikan ibadah haji.
Kendati demikian, di tengah masyarakat kerap ditemukan praktik menjual aset kekayaan baik berupa tanah, perhiasan, bahkan rumah untuk ongkos selama melakukan perjalanan haji. Lantas, wajibkah bagi seseorang yang hendak berangkat ke tanah suci tersebut menjual aset kekayaannya untuk biaya perjalanan ibadah haji?
Merujuk literatur fiqih, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah mengenai masalah ini. Menurut pendapat yang disampaikan oleh Imam Ibn Suraij (wafat 306 H) dan Imam Al-Qadhi’ Abu Ath-Thayyib (wafat 405 H) hukumnya tidak wajib untuk menjual aset tanah.
Akan tetapi, Imam An-Nawawi dan Imam Al-Ghazali (wafat 505 H) berpendapat bahwasanya hukum menjual tanah itu adalah wajib. Tarik ulur pendapat ulama demikian dirangkum oleh Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya:
Artinya: “Kalangan Syafi’iyyah berkata: Apabila seseorang memiliki sebidang tanah yang ia gunakan untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya atau ia memiliki harta dagangan yang menghasilkan laba setiap tahun guna memenuhi kebutuhan keluarganya serta tidak ada yang menggunakannya untuk haji. Dan apabila digunakan untuk haji, maka dapat mencukupi dirinya beserta keluarganya saat berangkat maupun pulangnya dan tidak tersisa sedikitpun, apakah ia wajib haji dalam dua kasus populer ini? Mengenai hal ini ada dua pendapat. (Pertama) Tidak wajib wajib haji, menurut pendapat Imam Ibn Suraij dan diafirmasi oleh Imam Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib… (Kedua) Adalah pendapat shahih, wajib haji baginya sebab ia sudah mendapatkan ongkos dan kendaraan yang mana keduanya termasuk rukun utama dalam melaksanakan kewajiban haji.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ ‘Ala Syarh Al-Muhadzab [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 7, h. 73)
Sedangkan, perihal aset berupa rumah hukumnya wajib untuk dijual selagi memungkinkan dan masih ada rumah lain yang dapat mencukupi kebutuhannya meski rumah tersebut tidak terlalu bagus. Hal ini sebagaimana disinggung oleh Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Khatib Asy-Syirbini (wafat 977 H) yang menyatakan:
Artinya: “Apabila mungkin untuk menjual sebagian aset rumah yang dimilikinya meskipun tidak terlalu bagus dan hasil penjualannya bisa digunakan untuk ongkos haji. Atau rumahnya bagus namun tidak terlalu layak dihuni dan seandainya diganti niscaya dapat ia gunakan untuk memenuhi ongkos haji maka hal tersebut hukumnya wajib.” (Muhammad bin Ahmad Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifati Alfadz Al-Minhaj [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 2, h. 213)
Adapun mengenai aksesori berupa perhiasan yang umumnya dikenakan oleh kaum perempuan seperti cincin, gelang, anting dan kalung serta koleksi baju yang ia miliki hukumnya tidak wajib untuk dijual, apabila masih diperlukan untuk mengenakannya dengan catatan tidak digunakan secara berlebihan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Ba’alawi (wafat 1320 H) dalam kompilasi fatwanya:
Artinya: “Diwajibkan bagi seseorang untuk mengalokasikan harta dagangannya dan menjual aset tanah pekarangannya guna menunaikan ibadah haji, sebab dengan hal itu ia dikategorikan sebagai orang yang mampu. Berbeda halnya dengan kitab-kitab fiqih, kuda prajurit, pakaian untuk berhias dan alat-alat pertukangan serta perhiasan yang dikenakan oleh perempuan yang layak baginya dan dibutuhkan untuk berhias pada umumnya maka dia (pemilik aksesoris atau barang tersebut) tidak dikategorikan sebagai orang yang mampu dan tidak berkewajiban untuk menjualnya.” (Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Ba’alawi, Bughyah Al-Mustarsyidin[Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 1, h. 190)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum menjual aset kekayaan untuk biaya ibadah haji dalam tinjauan fiqih diperinci berdasarkan bentuk aset kepemilikannya sebagai berikut: Bila asetnya berupa tanah atau pun lahan kosong maka terjadi khilaf. Menurut pendapat yang disampaikan oleh Imam Ibn Suraij dan Imam Al-Qadhi’ Abu Ath-Thayyib hukumnya tidak wajib untuk menjual aset tanah. Namun Imam An-Nawawi dan Imam Al-Ghazali berpendapat bahwasanya hukum menjual aset tanah itu adalah wajib.
Sementara itu, aset berupa rumah hukumnya wajib untuk dijual selagi memungkinkan dan masih ada rumah lain yang dapat mencukupi kebutuhannya meski rumah tersebut tidak terlalu bagus. Jika tidak ada, maka tidak wajib untuk menjualnya.
Adapun mengenai aksesori berupa perhiasan yang biasa dikenakan oleh perempuan, seperti halnya cincin, gelang, anting dan kalung serta koleksi baju hukumnya tidak wajib untuk dijual jika masih diperlukan untuk dikenakan selagi tidak digunakan secara berlebihan. Wallahu a’lam bisshawab.
Sumber: https://arina.id/syariah/ar-AGcuA/apakah-wajib-menjual-aset-kekayaan-untuk-biaya-haji-