Netanyahu, Palestina dan Pemilu Presiden AS

Oleh: M. Noor Harisudin

Kedatangan Benjamin Netanyahu Perdana Menteri Israel, untuk berpidato di hadapan majlis bersama (joint session) Kongres Senat di Gedung Capital Hill Amerika pada Rabu, 24 Juli 2024 sangat mengecewakan publik dunia. Tak heran, ribuan warga Amerika Pro-Palestina ikut berdemontrasi menolak kehadiran penjahat perang Palestina di negeri paman sam tersebut. Bagaimanapun, kehadiran Benyamin Netanyahu merupakan tamparan selain juga juga menginjak-injak human life and rights, human dignity dan justice for all yang dijunjung bukan hanya oleh rakyat Amerika Serikat, namun juga masyarakat dunia. Apalagi secara faktual, pidato Benyamin Netanyahu, menurut Nancy Pelocy, mantan Ketua Kongres AS, adalah pidato terburuk dari semua petinggi asing yang diundang bicara di depan kongres.

Sebelumnya, International Criminal Court (ICC) telah memerintahkan penangkapan Benyamin Netanyahu karena kejahatan perang dan kemanusiaan di Gaza Palestina. International Criminal Court (ICC) sendiri berkedudukan di Den Haag Belanda. Selain Benyamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant dan tiga pimpinan HAMAS, Yahya Sinwar, Ismail Haniyeh dan Mohammed al-Masri juga diperintahkan untuk ditangkap karena alasan yang sama (19/7/2024). Publik paham bahwa Benyamin Netanyahu adalah penjahat perang yang telah melakukan pembantaian massal di Gaza Palestina. Benyamin Netanyahu dan juga Gallant harus bertanggungjawab atas kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan di wilayah negara Palestina (Jalur Gaza) setidaknya sejak 7 Oktober 2023 yang silam.

Di bawah pimpinan Benyamin Netanyahu, Israel telah dengan sengaja dan sistematis melakukan serangan pemusnahan dan penganiayaan massal pada penduduk sipil, termasuk wanita dan anak-anak yang tidak berdosa. Lebih dari 39.000 penduduk meninggal di Palestina, sementara korban luka-luka mencapai 70.000 orang. Dari pihak Israel, terbunuh 1200 lebih masyarakat sipil. Namun demikian, pemerintah Amerika Serikat dengan enaknya mengundang Benyamin Netanyahu dan bahkan memberi panggung kehormatan pada ‘penjahat perang’ di Kongres Amerika Serikat. Bukan hanya Palestina yang marah, namun seluruh warga dunia juga marah.

Di sisi lain, Amerika Serikat saat ini sedang menjalankan Pemilu Presiden. Tentu saja kehadiran Benyamin Netanyahu berpengaruh pada suara konstituen Amerika Serikat. Kebijakan luar negeri–, termasuk Palestina– menjadi pertimbangan warga Amerika untuk memilih presiden mereka. Semula, kompetisi Pilpres antara Joe Biden (Partai Demokrat) dan Donald Trump (Partai Republik) memiliki kebijakan tentang Israel-Palestina yang sejatinya tidak jauh beda. Bahkan, dalam empat tahun terakhir, kebijakan Presiden Joe Biden dianggap lebih buruk daripada Donald Trump. Jika Donald Trump saat menjadi presiden hanya mencegah para imigran ke Amerika, Joe Biden dianggap turut serta ‘membunuh’ warga Palestina.

Namun seiring dengan mundurnya Joe Biden dari pencapresan dan diganti Kamala Harris, maka peta dukungan publik AS bisa berubah. Terutama setelah kedatangan Benyamin Netanyahu di Kongres Amerika Serikat dalam satu pekan ini. Sebut misalnya Donald Trump. Kebijakannya memang anti-imigran semasa ia menjabat presiden. Hingga sekarang, pandangan kebijakan luar negeri Trump tersebut tidak pernah berubah.

Pertemuan Donald Trump dengan Benyamin Netanyahu (26/7/2024), oleh karenanya, bukan hal aneh. Karena, bagi Israel, Donald Trump telah berjasa melicinkan jalan pembukaan hubungan diplomatik antara beberapa negara Israel dengan negara Islam atau Arab. Pada masa Donald Trump menjadi presiden, Israel membangun hubungan diplomasi dengan Emirat, Bahrain, Sudan dan lain-lain. Pada masa ini pula, Donald Trump mengakui Jerussalem sebagai Ibu Kota Israel dan memindahkan kedutaan Amerika ke kota yang dideklarasikan sebagai ibukota Palestina.

Kesuksesan Donald Trump ini tidak lepas dari Jared Kushner, menantu Trump yang berperan sebagai utusan khusus untuk Timur Tengah, termasuk Israel-Palestina. Suami Ivaka Trump ini selama ini dikenal sebagai pengusaha muda sukses dan merupakan zionis esktrem yang juga dekat dengan Pangeran Saudi Arabia, bin Salman. Jared Kushner ini dalam tempo empat tahun telah mendapat banyak keberhasilan (accomplishment) yang ducapai.

Tidak heran, pertemuan antara Donald Trump dan Benyamin Netanyahu di Amerika Serikat hanya akan menambah kekhawatiran banyak pihak. Jika pada akhirnya Trump memenangi Pilpres pada Nopember 2024 ini, maka Israel diprediksi akan semakin membabi-buta. Era Presiden Trump yang kedua –jika ia terpilih–akan semakin mempercepat genoside Israel ke bumi Palestina. Sebaliknya, Donald Trump ini akan menjadi penghalang utama kemerdekaan Palestina.

Sementara, Kamala Harris yang juga Wakil Presiden Amerika Serikat –disamping petinggi dan anggota senat yang lain, yaitu Barnie Sanders dan Ilhan Omar, –memilih untuk tidak hadir ke kongres AS yang didatangi Benyamin Netanyahu. Kendati garis politik Kamala harus sejalan dengan pemerintah Amerika yang memandang Israel adalah sekutu Amerika, namun jejak rekam Kamala Harris menunjukkan progresivitas pemikiran dan langkah politiknya.

Sekali lagi, ketidakhadiran Kamala Harris sebagai Wakil Presiden yang juga Ketua Senat Kongres Amerika Serikat dalam acara pidato Benyamin Netanyahu memiliki makna penting dalam politik Amerika. Apalagi politik Amerika Serikat saat ini menunjukkan klimaks sensivitas yang tinggi. Dus, ketidakhadiran Kamala Harris adalah bukti sikap politik luar negeri yang anti-Yahudi dan Israel. Bahkan lebih jauh, Kamala Harris ingin menunjukkan pada publik bahwa pembunuhan massal di Gaza dan tempat lain di Palestina harus dihentikan saat ini juga. Sudah saatnya perang berakhir, kata Kamala Harris dalam siaran televisi (25/7/2024) setelah bertemu Benyamin Netanyahu.

Dalam hal kebijakan luar negeri, meskipun satu partai (Demokrat), Kamala Harris berbeda dengan Joe Biden yang lebih merangkul Benyamin Netanyahu untuk menyelesaikan Palestina. Joe Biden dalam kampanye presiden sebelum akhirnya mundur dari pencapresan di negeri paman sam tersebut sering diprotes warga Amerika gara-gara pembelaannya pada Israel. Salah satunya Die-in For Humanity yang mendatangi 100 acara lebih acara Joe Biden untuk menyerukan agar ketidakadilan dan kekejaman di Gaza Palestina segera dihentikan. Ada sekitar 700-an anggota Die-in For Humanity yang secara istiqomah menyerukan aspirasi mereka yang Pro-Palestina.

Di sinilah, ada harapan baru warga Amerika dengan Kamala Harris. Dengan sifat keibuannya, Kamala Harris akan lebih peduli pada korban sipil di Gaza Palestina. Meski Kamala Harris adalah seorang istri dari suami Yahudi, namun Kamala sejak lama telah mendeklarasikan diri sebagai Non-Jewish Zionist. Kamala Harris sadar bahwa lobby politik Yahudi di Amerika dipandang sebagai penentu kemenangan atau kekalahan dalam pilihan politik Amerika. Jika survei sebelumnya Joe Biden mendapat 41 persen dan Donald Trump mendapat 49 persen, maka kini dengan rival Kamala Harris, Donald Trump hanya mendapat 42 persen dan Kamala Harris 44 persen.

Lebih dari itu, Kamala Harris tahu bahwa Arab Amerika dan kaum muda progresif akan memiliki suara penting dalam Pemilu Amerika. Karena itu, ia memilih berbeda dengan Joe Biden yang satu partai dengannya dan Donald Trump yang berbeda partai dan menjadi rival politiknya. Namun, apakah secara otomatis Kamala Harris yang bakal memenangi Pilpres 5 Nopember 2024 ini? Dan lalu, apakah kebijakan luar negeri AS tentang Palestina akan juga berubah? Mari kita tunggu episode tahap demi tahap Pemilu Presiden Amerika Serikat dalam beberapa bulan ke depan. Karena kemenangan ada di tangan rakyat Amerika. *

*M. Noor Harisudin adalah Direktur World Moslem Studies Center dan Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

**Dimuat di Harian Kompas, 3 Agustus 2024.

Bagikan :

Facebook
WhatsApp
Telegram

Postingan Terkait

Segudang Keuntungan Kuliah Sambil Mondok

Menjalani aktivitas kuliah sekaligus sebagai santri di pondok pesantren? Apa untungnya? Jawabannya banyak. Mahasiswa tak hanya mendapatkan ilmu umum tetapi juga ilmu agama yang mumpuni.