Oleh: M. Noor Harisudin***
Hari itu (19/3/2024), saya bertemu teman-teman penerima beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) di Wageningen University and Research, kota Wageningen, Belanda. Ada 300 lebih awardee LPDP di kampus ini. Jumlah yang lumayan banyak. “Satu angkatan magister saja 130 orang, Prof”, kata Syahril Imron pada saya dalam perbincangan ringan di kampus siang itu.
Beasiswa LPDP sendiri merupakan beasiswa untuk warga Indonesia baik untuk kuliah S2 (magister) maupun S3 (doktor) di dalam maupun luar negeri. Beasiswa ini dikelola Kementerian Keuangan RI. Pada kementerian lain, kita mengenal Beasiswa Indonesia Bangkit yang juga disingkat BIB. Beasiswa ini dikeluarkan oleh Kemenag RI. Sementara itu, Kemendikbud RI juga mengeluarkan beasiswa yang disebut dengan Beasiswa Unggulan. Penerima beasiswa LPDP –dan juga yang lain–harus memenuhi syarat tertentu misalnya maksimal 35 tahun.
Beberapa tahun terakhir, problem beasiswa LPDP juga muncul. Misalnya awardee LPDP yang tidak mau kembali ke Indonesia dengan cara memperlama tinggal di negara penerima beasiswa. Demikian juga, problem klasik minimnya dana beasiswa mahasiswa sehingga menyebabkan mereka harus mencari kerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Namun demikian, beasiswa LPDP masih jauh lebih tinggi daripada yang lain.
Di Belanda, penerima beasiswa LPDP Kementrian Keuangan, Kemenag RI, Kemendikbud dan sebagainya menyebar ke berbagai kota pilihan. Misalnya Amsterdam, Leiden, Wageningen, Utrecth, Den Haag, Harlem, dan sebagainya. Jumlahnya mencapai ribuan dan lebih banyak dari jumlah penduduk yang lain.
Sore ini, saya memang berencana mengisi ceramah di Pengajian Wageningen. Pengajian ini diketuai seorang anak muda, Rio yang juga penerima beasiswa LPDP. Saya bersama Syahril Imron merapat ke kampus terbaik dunia bidang pertanian tersebut. Malam sebelumnya, saya juga menjadi imam sholat tarawih di salah satu housing mahasiswa.
Pengajian sore itu berlangsung gayeng. Acara pengajian dimulai jam 17.30 waktu Belanda. Sembari menunggu buka puasa jam 19.00, saya menyampaikan urgensi Fikih Aqalliyat untuk mahasiswa yang tinggal di Belanda dan juga Eropa. “Hukum-hukum yang berkaitan dengan muslim di negara non-muslim”, saya kutip pernyataan Bin Bayah terkait definisi Fikih Aqalliyat.
Umat Muslim di Belanda dan Eropa cukup menggunakan Fikih Aqalliyat untuk beribadah sehari-hari. “Dalam Fikih Aqalliyat, karena kondisi darurat dan hajat, maka umat Islam mendapat rukhsah (dispensasi) dalam beragama. Misalnya bolehnya mengusap dua kaos kaki ketika berwudlu tanpa harus membuka dan membasuhnya yang disebut dengan mashul khuffain. Demikian juga kondisi sulitnya mensucikan Najis Mughaladlah boleh mensucikannya dengan sabun, tidak menggunakan campuran debu dan air dari tujuh kali basuhan karena sulitnya keadaaan”, demikian saya sampaikan dalam forum yang dihadiri ratusan mahasiswa tersebut.
Peserta acara ini rata-rata adalah awardee beasiswa LPDP. “Di sini, banyak yang mendapat beasiswa, Prof. Rata-rata beasiswa LPDP. Dari Sabang sampai Merauke “, kata Syahril Imron pada saya setelah selesai acara. Saya dengan Syahril Imron adalah satu almamater di Pondok Salafiyah Kajen Pati Jawa Tengah.
Sistem penerimaan beasiswa LPDP di kampus Wageningen University berbeda dengan kampus lain. Pembayaran LPDP ditransfer ke kampus dan baru didistribusikan pada awardee LPDP. “Belanda sangat senang dengan beasiswa LPDP. Termasuk Wageningen University ini sangat peduli dengan LPDP karena dianggap menguntungkan Belanda”, kata Syahril Imron dalam perjalanan pulang ke housingnya malam itu.
Keberadaan LPDP, bagi Syahril Imron, sangat berarti bagi Belanda. Dan ini sesungguhnya dapat menjadi bargaining position Indonesia di mata Belanda. Karena Belanda tidak pernah bersalah meski 300 tahun menjajah Indonesia. Pelajaran untuk anak-anak Belanda sejak kecil juga tidak dianggap bermasalah bagi Belanda. Sehingga, Belanda merasa tidak perlu memberi privilege pada Indonesia. Belanda memperlakukan sama Indonesia dengan negara lain. Padahal, sesungguhnya bisa dilakukan Belanda untuk memberi kemudahan pada orang Indonesia sebagai bentuk balas jasa pada Indonesia yang dijajahnya.
Dalam konteks inilah, maka beasiswa LPDP dapat menjadi salah satu kekuatan Indonesia untuk melakukan tekanan pada pemerintah Belanda. Apalagi mereka sangat membutuhkan LPDP yang jumlahnya ribuan di negara kincir angin tersebut. Kita bisa membayangkan bagaimana jika Belanda tanpa mahasiswa beasiswa LPDP dari Indonesia. *** (Bersambung)
* M. Noor Harisudin adalah Direktur World Moslem Studies Center (Womester), Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember, Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur, Dewan Pakar PW Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur, Ketua PP APHTN-HAN dan Guru Besar UIN KHAS Jember.