
Media Center Darul Hikam – Pegelaran ‘Pesta Rakyat’ tahun 2024 dimungkinkan menjadi wabah berikutnya yang dapat mengancam Indonesia. Wabah yang dimaksud adalah wabah politik uang dalam penyelenggaraan pemilu 2024.
Demikian disampaikan oleh Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I dalam Halaqah Fikih Peradaban yang bertajuk ‘Fikih Peradaban dan Pembangunan Budaya Politik Warga’ di Pesantren Riyadlus Sholihin Probolinggo pada Sabtu (09/11/2022).
“Politik uang adalah sebuah upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi. Politik uang juga diartikan sebagai jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters),” jelas Prof. Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.

Menurut Prof. Haris, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 mencapai kisaran 19,4% hingga 33,1%. Jika data tersebut ditinjau pada standard internasional, maka Indonesia telah menjadi negara dengan peringkat praktik politik uang terbesar nomor tiga sedunia.
“Berdasarkan waktu kejadiannya, politik uang dapat terjadi pada saat pemungutan suara berlangsung, pada saat kampanye, pada masa tenang dan pada hari pemungutan suara,” tukas Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN Se-Indonesia tersebut.
“Sedangkan jika ditinjau menurut palakunya, praktik politik uang dapat dilakukan oleh partai politik, kandidat atau pasangan calon, birokrat, pengusaha atau pebisnis hitam, hingga politisi korup,” tambahnya.

Dengan itu, Prof. Haris yang juga Pengasuh Pesantren Darul Hikam Mangli Jember, menjelaskan beberapa cara untuk melawan politik uang, salah satunya mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk semaksimal mungkin memberi edukasi politik kepada masyarakat, dengan menggandeng mahasiswa dan civil society yang lain dalam pencegahan tindak pidana politik uang.
“Selain melawan politik uang, juga perlu melakukan pencegahan praktik politik sedini mungkin. Yaitu dengan melakukan sosialisasi, pengawasan partisipatif, patroli pengawasan, penegakan hukum dan tindakan pencegahan lainnya,” ujar Prof. Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jatim.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, lanjut Prof. Haris, telah dengan tegas menyebut politik uang (money politik) sebagai tindakan suap (risywah) yang dilaknat oleh Allah Swt. Baik yang memberi (raisy) ataupun yang menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara (raaisy).
“NU ini sangat keren, ia sejak awal telah berani mengambil sikap secara tegas terhadap praktik politik uang. Sikap NU dapat dilihat dalam keputusan Sidang Komisi Masa’il Waqi’iyyah Siyasiyah, pada Musyawarah Nasional Alim Ulama tanggal 17 Rabiul Akhir 1423 H/28 Juli 2002,” ucap Prof. Haris yang juga Wakil Ketua Lembaga Dakwah NU Jatim.

Hanya saja sikap NU tersebut masih sebatas fatwa tentang politik uang yang bersifat umum dan belum implementatif. NU semestinya memberi masukan konstruktif terhadap UU Pemilu tahun 2017 yang masih ada kekurangan di beberapa sisi dengan pertimbangan maqashidus syariah.
“Politik uang telah mencemari demokrasi kita. Para pemimpin hasil politik uang tak menghasilkan apa-apa, selain menjadi koruptor di negeri ini. Hanya komitmen kita bersama (Nahdlatul Ulama) yang akan melawannya,” pungkasnya.
Kontributor : M. Irwan Zamroni Ali