Oleh : Lutvi Hendrawan*
Rumah tangga seperti sebuah bahtera dalam kehidupan, didalam mengarungi perjalanan berumah tangga pasti akan merasakan bahagia, sedih, dan senang. Rumah tangga berawal dari sebuah perkawinan, antara suami dan istri mengikatkan diri dalam akad suci perkawinan. Setelah terjadi perkwinan maka antara suami dan istri saling mempunyai hak dan tanggungjawab dalam menjalankan tugas dan fungsi didalam keluarga, sehingga tujuan dari terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah tercapai.
Dibalik pemilihan judul artikel diatas, penulis bukan tanpa alasan tetapi penulis sangat tertarik dengan permasalahan didalam keluarga, seperti Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Penulis yakin bahwa didalam mengarungi rumahtangga suami istri pasti pernah mengalami yang namanya pertengkaran didalam keluarga, namun apakah disetiap pertengkaran itu disebut kekerasan, kriteria apa yang bisa disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana dampak yang terjadi dari kekerasan dalam rumah tangga, sangat menarik untuk dibahas.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjelaskan yang dimaksud dengan KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam ruang lingkup rumah tangga.
Kasus KDRT yang baru saja terjadi menimpa Lesti Kejora yang mendapat kekerasan dalam dari suaminya Riski Bilar. Setelah terjadi kekarasan Lesty melaporkan kejadian kepada kepolisian, sehingga suami diperiksa, Rizki Bilar terancam mendapat hukuman 5 tahun penjara dan denda 15 juta rupiah. Hukuman ini berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Karena Lesty mencabut tuntutan kepada kepolisian maka Kepolisian membebaskan Riski Bilar.
Klasifikasi yang bisa disebut dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi, Pertama, Kekerasan Fisik Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, katuh sakit, atau luka berat. Kedua, Perbuatan yang membuat ketakutan, rasa tidak berdaya, rasa percaya diri atau kemapuan untuk bertindak, atau penderitaan psikis pada seseorang. Ketiga, Perbuatan yang berupa pemkasaan hubungan terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga, pemaksaan hungan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak disukai, pemkasaan hubungan seksual terhadap orang lain untuk tujuan komersial atau tujua tertentu. Keempat, Perbuatan menelantarkan orang dalam rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku atau karena persetujuan/perjanjian, ia wajib memenuhi kebutuhan hidup orang tersebut.
Data mengenai kasus KDRT dilansir dari Komnas Perempuan 8 Maret 2022, CATAHU 2022 mencatat dinamika pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, lembaga layanan dan Badilag. Terkumpul sebanyak 338.496 kasus kekerasan berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan dengan rincian, pengaduan ke Komnas Perempuan Perempuan 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus.
Angka-angka ini menggambarkan peningkatan signifikan 50% KBG terhadap perempuan yaitu 338.496 kasus pada 2021 (dari 22.062 kasus pada 2020). Lonjakan tajam terjadi pada data BADILAG sebesar 52%, yakni 327.629 kasus (dari 215.694 pada 2020). Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga meningkat secara signifikan sebesar 80% dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838 kasus pada 2021. Sebaliknya, data dari lembaga layanan menurun 15%, terutama disebabkan sejumlah lembaga layanan sudah tidak beroperasi selama pandemi Covid-19, sistem pendokumentasian kasus yang belum memadai dan terbatasnya sumber daya.
Sebenarnya Islam tidak mengenal Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun bagaimana jika kekerasan itu dilakukan dalam rangka untuk mendidik/memberikan pengajaran sebagaimana yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan dilindungi peraturan perundang-undangan, seperti suami dibolehkan memukul istri yan nusyuz.Islam adalah agama rahmatan lil’alamin yang menganut prisnsip kesetaraan partnersip (kerjasama) dan keadilan. Tujuan perkawinan adalah tercapainya keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Oleh karena itu, segala perbuatan yang mengakibatkan timbulnya mafsadat yang terdapat dalam kekerasan dalam rumah tangga dapat dikategorikan kepada perbuatan melawan hukun. Islam mengajarkan mendidik dengan moral dan etika dan dibenarkan syar’i.
Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34 menjelaskan “Laki-laki (suami) itu adalah pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dam karena (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka ditempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar”.
Pemahaman yang salah pada lafadz “Wadribuhunna/pukullah” menjadi penyebab atau dasar suami melakukan kekarasan kepada sang istri. Sebenarnya dalam memaknai lafadz tersebut membutuhkan tafsir sehingga tidak meyebabkan kerancuan. Dalam Kitab Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna memukul, kebolehan memukul dengan pukulan yang tidak melukai. Menurut Al-Hasan AL-Basri, yang dimaksud dengan memukul, ialah pukulan yang tidak membekas. Menurut Ulama Fiqih, yang dimaksud dengan memukul ialah pukulan yang tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuh pun, dan tidak membekas barang sedikitpun. Dari sini sudah diketahui bahwa Islam tidak membolehkan atau mengajarkan untuk melakukan kekerasan kepada istri dengan memukul atau sejenisnya.
Pemahaman mengenai kepala keluarga bukan lagi suami mempunyai hak dan wewenang menyuruh atau memberlakukan istri dengan semena-mena, karena seiring dengan berjalannya waktu perubahan merubah hukum karena sudah dengan kenyataan. Jika dulu seorang istri hanya dirumah mengatur keluarga, namun pada saat sekarang istri terkadang membantu suami dalam mencari nafkah, oleh karena itu pemahaman dalam keluarga perlu pemaknaaan yang baru sehingga Hukum Keluarga mengikuti perubahan waktu dan kondisi.
Pandangan dari penulis kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena antarasuami atau istri timbul rasa keegoisan yang tinggi, tidak mau saling memahami, ketika suami marah atau menasehati istri, istri memberikan bantahan-bantahan sehingga muncul emosi yang meluap-luap yang menyebabkan timbul perbuatan melukai kepada istri. Atau sebaliknya, jika sang suami salah maka harus mengakui kesalahan dan meminta maaf bukan mencari kebenaran dalam kesalahan.
Bercermin dari Kisah Khalifah Umar Bin Khattab R.A yang tidak murka saat dimarahi istrinya. Kisah ini ditulis dalam Kitab Tanbih al-Ghafilin Karya Abu Lais as-Samarkandi dan Kitab U’qud al-Lujain karya Syekh Nawawin al-Bantani, seorang ulama asli Banten yang lama bermukim di Makkah al-Mukarramah. Diceritakan pada saat itu ada sahabat yang mau bertemu dengan beliau ingin mengadukan dan mau menceraikan istrinya, namun terlebih dahulu konsultasi kepada kepada Khalifah.
Maka bergegaslah sahabat Rasulullah itu ke rumah Umar. Namun tiba di depan rumah sang khalifah, dia urung mengetuk pintu. Sebab dari dalam terdengar suara keras sang istri Umar yang sedang marah. Umar dimarahi istrinya. Tak terdengar sama sekali suara Umar membantah atau melawan sang istri. Padahal nada marah istri Umar sangat tinggi. Tak jado mengetuk pintu Umar, sang sahabat tadi pun berniat meninggalkan rumah Umar dia bergumam, “Kalau khalifah saja seperti itu, bagaimana dengan diriku”.
Alasan kenapa Umar diam saja ketika dimarahi istri adalah karena seorang istri sudah bekerja memasak, mencuci baju dan mengasuh anak-anak. Penulis sangat tidak setuju dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, belajar dari kisah Lesty, Bilar dan Khalifah Umar. Permaslahan yang ada dalam keluarga harusnya diselesaikan dengan cara yang baik, komunikasi yang baik antar suami istri, tentunya masing-masing suami istri tidak mengedepankan keegoisannya dalam bersikapdan bertindak.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah pelindung terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan dalam islam sendiri tidak membenarkan adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
*Penulis adalah Maha Santri Putra Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan juga Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.