Oleh: M. Noor Harisudin
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember
Guru Besar IAIN Jember
Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan, tiba-tiba terjadi. Apa yang tidak direncanakan manusia tiba-tiba menjadi sebuah kenyataan kehidupan. Pandemi Virus Corona telah merubah segalanya. Covid-19 yang juga ciptaan Tuhan adalah peluncur keberadaan perubahan itu sendiri. Dalam Kitab Hikam, Ibnu Athailah mengatakan: “al-ghafilu idza ashbaha yandluru madza yafalu. Wal aaqilu yandluru ma yafalu allahu bihi. Orang lalai memulai harinya dengan memikirkan apa yang harus dia kerjakan. Sementara, orang berakal merenungkan apa yang akan Tuhan lakukan terhadapnya.
Orang cerdas selalu berpikir apa yang Allah lakukan hari ini sembari menyiapkan berbagai penyesuaian dengan realitas ciptaan-Nya. Dalam konteks inilah, pandemi Covid-19 semakin meneguhkan kita akan adanya apa yang saya sebut dengan a Networked Civilization (Peradaban berbasis jaringan). Sebagai santri, kita harus secepat kilat melakukan penyesuaikan dengan peradaban baru jenis ini. Lalu apa yang disebut dengan a Networked Civilization? Apa pula tanda-tandanya ?
Peradaban berbasis jaringan ditandai dengan membanjirnya cloud, zoom, google meet,teamlink, instagram dan sebagainya dalam satu dasawarsa terakhir, namun kian masih dalam tiga bulan terakhir saat pandemi Covid-19. Sebuah peradaban yang tak lagi dibatasi negara, agama, maupun lainnya, namun justru dibatasi alasan klise: kuota dan dan sinyal internet. Selama Ramadlan, pembelajaran online juga ramai-ramai digalakkan berbagai lembaga pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi, tak terkecuali pesantren.
Lalu, apa yang dilakukan santri milenial di era Perabadan berbasis Jaringan tersebut? Saya kira, keinginan menjadi youtuber hanya satu dari varian apa yang dapat dilakukan santri. Ada hal penting lagi yang harus dilakukan oleh santri milenial, yaitu melakukan transformasi kesantrian dalam kehidupan publik medsos.
Transformasi nilai-nilai kesantrian menjadi prioritas utama dalam peradaban berbasis jaringan. Nilai-nilai kesantrian seperti kemandirian, kesederhanaan, kerendah-hatian, etos keilmuan, kecintaan terhadap tanah air dan sebagainya harus menjelma menjadi nilai yang membumi dalam peradaban berbasis jaringan ini. Spritualisasi dalam nilai-nilai santri harus masuk dibumikan membentuk kesalehan sosial yang juga berbasis digital tersebut.
Pada sisi lain, dalam konteks keindonesiaan, santri juga harus terlibat gerakan anti-hoak di negeri ini. Agama mengajarkan untuk bersikap jujur dalam kehidupan. Sebaliknya, melarang keras berdusta dan apalagi jika kebohongan dilakukan secara massal. Hoak ini yang meresahkan berbagai kalangan. Apalagi hoak-hoak yang bernuansa agama, hemat saya, santri milenial harus berada di garda terdepan. Sikap diam santri terhadap hoak sama halnya setuju dengan kehidupan yang berbalut hoak.
Dalam konteks itu, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh santri milenial, sebagaimana berikut:
Pertama, santri milenial mesti melek teknologi. Bukan hanya sebagai konsumen, santri milenial harus juga belajar menjadi produsen. Oleh karenanya, jika ditarik lebih jauh, santri milenial tidak hanya paham bagaimana bisnis start up, namun mereka juga membuat secara kreatif bisnis start up tidak kalah dengan kalangan lainnya.
Kedua, mengetahui seluk beluk Undang-Undang Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE). Undang-undang ITE ini sangat penting untuk mengetahui rambu-rambu, apa yang boleh dan tidak boleh dalam dunia digital. Demikian juga, sangsi apa yang akan diperoleh jika melanggar aturan main dalam dunia online. Banyak kasus dimana kebebasan berespkresi bertabrakan dengan hak orang lain yang juga dijamin dalam Undang-undang ini.Saya sekedar menyebut contoh satu pasal penting. Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Meski oleh sebagian kalangan dianggap pasal karet, pasal ini sejatinya memberikan efek jera pada orang yang melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik.
Ketiga, memperkuat jaringan nasional dan internasional. Peradaban berbasis jaringan menjadikan santri milenial harus melebarkan sayap jejaring ke dunia internasional. Jaringan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU se-dunia hemat saya dapat menjadi batu loncatan untuk membangin jaringan tersebut. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama juga telah melakukan jejaring kuat dengan berbagai kalangan internasional yang perlu disinergikan.
Keempat, menguatkan penyebaran Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Juga, Islam yang rahmat, bukan yang menjadi laknat’. Santri harus memiliki pengetahuan standar yang diramu dengan multidisiplin ilmu yang lain untuk mendesiminasikan Islam yang rahmatan lil alamin tersebut. Islam yang rahmatan lil alamin ini lalu disebar dengan bahasa popular yang mudah diserap oleh berbagai kalangan.Bahasa bahtsul masail harus diterjemahkan menjadi bahasa yang mudah diserap orang awam.
Kelima, menguatkan kemahiran dalam literasi jurnalistik. Santri milenial harus memiliki kemampuan dasar jurnalistik untuk menguatkan peradaban berbasis jaringan. Jika dulu menulis di Koran orang bisa antri lama atau bahkan ditolak, kini peradaban berbasis jaringan mempermudah mempublish tulisan berbagai kalangan dalam hitungan menit dengan kemudahan misalnya membuat website yang free maupun berbayar.
Namun, untuk mencapai apa yang saya sampaikan diatas, santri milenial at least harus memiliki dua nilai keunggulan. Nilai ini selanjutnya diinternalisasi dalam dirinya menjadi bagian dirinya. Dua nilai ini adalah :
Pertama, self-development atau selalu mengembangkan diri. Belajar dan belajar di waktu kapa dan tempat mana pun. Juga belajar tentang apa saja yang membuat orang semakin profesional. Self-development menolak orang menjadi statis dan jumud serta membanggakan dengan kemampuan dirinya saat ini, sebaliknya mendorong orang untuk berkembang dalam koridor life long education. (Minal ahdi ilal lahdi)
Kedua, innovation. Selalu melakukan inovasi sebagai lanjutan dari self-development. Bahasa pesantrennya, innovation adalah kerja-kerja ijtihad, untuk manfaat kemanusiaan. Ijtihad demi ijtihad harus dilakukan untuk melakukan percepatan kemajuan dalam peradaban ini.
Dua nilai ini yang membuat santri, seperti apa yang disebut kitab Hikam: kaifa laka alawaa’idu waanta lam tukhriq min nafsika al-‘awaa’ida. Bagaimana mungkin kau menjadi luar biasa sementara yang kau lakukan hal yang biasa. Santri milenial yang luar biasa adalah santri up date: up date terhadap self development dan innovation. Tanpa up date kedua nilai utama ini, saya kira, santri akan ditinggal oleh zaman now.
Wallahualam
*Tulisan disampaikan dalam acara “Reaktualisasi Nikai Kesantrian pada Generasi Milenial” yang diselenggarakan Madrasah Virtual dan Telkom Jawa Timur, Rabu, 10 Juli 2020