Santri Milenial dalam Peradaban Berbasis Jaringan

Oleh: M. Noor Harisudin

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember

Guru Besar IAIN Jember 

Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan, tiba-tiba terjadi. Apa yang tidak direncanakan manusia tiba-tiba menjadi sebuah kenyataan kehidupan. Pandemi Virus Corona telah merubah segalanya. Covid-19 yang juga ciptaan Tuhan adalah peluncur keberadaan perubahan itu sendiri. Dalam Kitab Hikam, Ibnu Athailah mengatakan: “al-ghafilu idza ashbaha yandluru madza yafalu.  Wal aaqilu yandluru ma yafalu allahu bihi. Orang lalai memulai harinya dengan memikirkan apa yang harus dia kerjakan. Sementara, orang berakal merenungkan apa yang akan Tuhan lakukan terhadapnya. 

Orang cerdas selalu berpikir apa yang Allah lakukan hari ini sembari menyiapkan berbagai penyesuaian dengan realitas ciptaan-Nya. Dalam konteks inilah, pandemi Covid-19 semakin meneguhkan kita akan adanya apa yang saya sebut dengan a Networked Civilization (Peradaban berbasis jaringan). Sebagai santri, kita harus secepat kilat melakukan penyesuaikan dengan peradaban baru jenis ini. Lalu apa yang disebut dengan a Networked Civilization? Apa pula tanda-tandanya ?

Peradaban berbasis jaringan ditandai dengan membanjirnya cloud, zoom, google meet,teamlink, instagram dan sebagainya dalam satu dasawarsa terakhir, namun kian masih dalam tiga bulan terakhir saat pandemi Covid-19. Sebuah peradaban yang tak lagi dibatasi negara, agama, maupun lainnya, namun justru dibatasi alasan klise: kuota dan dan sinyal internet. Selama Ramadlan, pembelajaran online juga ramai-ramai digalakkan berbagai lembaga pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi, tak terkecuali pesantren.

Lalu, apa yang dilakukan santri milenial di era Perabadan berbasis Jaringan tersebut? Saya kira, keinginan menjadi youtuber hanya satu dari varian apa yang dapat dilakukan santri. Ada hal penting lagi yang harus dilakukan oleh santri milenial, yaitu melakukan transformasi kesantrian dalam kehidupan publik medsos.

Transformasi nilai-nilai kesantrian menjadi prioritas utama dalam peradaban berbasis jaringan. Nilai-nilai kesantrian seperti kemandirian, kesederhanaan, kerendah-hatian, etos keilmuan, kecintaan terhadap tanah air dan sebagainya harus menjelma menjadi nilai yang membumi dalam peradaban berbasis jaringan ini. Spritualisasi dalam nilai-nilai santri harus masuk dibumikan membentuk kesalehan sosial yang juga berbasis digital tersebut.

Pada sisi lain, dalam konteks keindonesiaan, santri juga harus terlibat gerakan anti-hoak di negeri ini. Agama mengajarkan untuk bersikap jujur dalam kehidupan. Sebaliknya, melarang keras berdusta dan apalagi jika kebohongan dilakukan secara massal. Hoak ini yang meresahkan berbagai kalangan. Apalagi hoak-hoak yang bernuansa agama, hemat saya, santri milenial harus berada di garda terdepan. Sikap diam santri terhadap hoak sama halnya setuju dengan kehidupan yang berbalut hoak.  

Dalam konteks itu, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh santri milenial, sebagaimana berikut:

Pertama, santri milenial mesti melek teknologi. Bukan hanya sebagai konsumen, santri milenial harus juga belajar menjadi produsen. Oleh karenanya, jika ditarik lebih jauh, santri milenial tidak hanya paham bagaimana bisnis start up, namun mereka juga membuat secara kreatif bisnis start up tidak kalah dengan kalangan lainnya.

Kedua, mengetahui seluk beluk Undang-Undang Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE). Undang-undang ITE ini sangat penting untuk mengetahui rambu-rambu, apa yang boleh dan tidak boleh dalam dunia digital. Demikian juga, sangsi apa yang akan diperoleh jika melanggar aturan main dalam dunia online. Banyak kasus dimana kebebasan berespkresi bertabrakan dengan hak orang lain yang juga dijamin dalam Undang-undang ini.Saya sekedar menyebut contoh satu pasal penting. Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Meski oleh sebagian kalangan dianggap pasal karet, pasal ini sejatinya memberikan efek jera pada orang yang melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik. 

Ketiga, memperkuat jaringan nasional dan internasional. Peradaban berbasis jaringan menjadikan santri milenial harus melebarkan sayap jejaring ke dunia internasional. Jaringan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU se-dunia hemat saya dapat menjadi batu loncatan untuk membangin jaringan tersebut. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama juga telah melakukan jejaring kuat dengan berbagai kalangan internasional yang perlu disinergikan.

Keempat, menguatkan penyebaran Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Juga, Islam yang rahmat, bukan yang menjadi laknat’. Santri harus memiliki pengetahuan standar yang diramu dengan multidisiplin ilmu yang lain untuk mendesiminasikan Islam yang rahmatan lil alamin tersebut. Islam yang rahmatan lil alamin ini lalu disebar dengan bahasa popular yang mudah diserap oleh berbagai kalangan.Bahasa bahtsul masail harus diterjemahkan menjadi bahasa yang mudah diserap orang awam.

Kelima, menguatkan kemahiran dalam literasi jurnalistik. Santri milenial harus memiliki kemampuan dasar jurnalistik untuk menguatkan peradaban berbasis jaringan. Jika dulu menulis di Koran orang bisa antri lama atau bahkan ditolak, kini peradaban berbasis jaringan mempermudah mempublish tulisan berbagai kalangan dalam hitungan menit dengan kemudahan misalnya membuat website yang free maupun berbayar. 

Namun, untuk mencapai apa yang saya sampaikan diatas, santri milenial at least harus memiliki dua nilai keunggulan. Nilai ini selanjutnya diinternalisasi dalam dirinya menjadi bagian dirinya. Dua nilai ini adalah :

Pertama, self-development atau selalu mengembangkan diri. Belajar dan belajar di waktu kapa dan tempat mana pun. Juga belajar tentang apa saja yang membuat orang semakin profesional. Self-development menolak orang menjadi statis dan jumud serta membanggakan dengan kemampuan dirinya saat ini, sebaliknya mendorong orang untuk berkembang dalam koridor life long education. (Minal ahdi ilal lahdi) 

Kedua, innovation. Selalu melakukan inovasi sebagai lanjutan dari self-development. Bahasa pesantrennya, innovation adalah kerja-kerja ijtihad, untuk manfaat kemanusiaan. Ijtihad demi ijtihad harus dilakukan untuk melakukan percepatan kemajuan dalam peradaban ini.

Dua nilai ini yang membuat santri, seperti apa yang disebut kitab Hikam: kaifa laka alawaa’idu waanta lam tukhriq min nafsika al-‘awaa’ida. Bagaimana mungkin kau menjadi luar biasa sementara yang kau lakukan hal yang biasa. Santri milenial yang luar biasa adalah santri up date: up date terhadap self development dan innovation. Tanpa up date kedua nilai utama ini, saya kira, santri akan ditinggal oleh zaman now.

Wallahualam

*Tulisan disampaikan dalam acara “Reaktualisasi Nikai Kesantrian pada Generasi Milenial” yang diselenggarakan Madrasah Virtual dan Telkom Jawa Timur, Rabu, 10 Juli 2020

Bagikan :

Facebook
WhatsApp
Telegram

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Postingan Terkait

Peningkatan Kualitas, Lembaga Wakaf Darul Hikam Undang Wakil Direktur LAZISNU PBNU

Jember, 12 Desember 2024 Meski telah banyak menorehkan prestasi di tahun ini, Lembaga Wakaf Darul Hikam tidak pernah berpuas diri. Termasuk dengan ilmu-ilmu yang diperoleh dari berbagai lembaga filantropi yang besar seperti Dompet Dluafa Republika dan Yayasan Dana Sosial al-Falah. Kini, Lembaga Wakaf Darul Hikam mengundang Wakil Direktur Bidang Fundraising, Humas dan IT NU Care-LAZISNU PBNU,  Anik Rifqof, pada Kamis, 12 Desember 2024 jam 10.00 sd 11.30. Acara dihadiri seluruh Pegawai Lembaga Wakaf Darul Hikam dan juga Lembaga Amil Zakat AZKA Al Baitul Amin Jember. Acara ini dikemas dalam Diskusi “Strategi Penghimpunan dan Kemitraan ZISWAF”. Prof. KH. M. Noor Harisudin dalam sambutannya mengatakan pentingnya terus update ilmu dan praktik filantropi “Sebagai lembaga wakaf, kita harus berkembang. Perolehan kita sudah banyak. Namun, kita masih belum apa-apa disbanding mereka yang telah lebih dulu berkonstribusi untuk Indonesia. Seperti Lazisnu PBNU,” ujar Direktur Lembaga Wakaf Darul Hikam, Prof. Dr.  HM. Noor Harisudin, S.Ag, SH, M.Fil.I, CLA, CWC. Anik Rifqoh, Wakil Direktur Lazisnu PBNU mengapresiasi lembaga filantropi seperti Darul Hikam dengan berbagai program inovatifnya. “Ini programnya keren dan inovatif. Juga belum dilakukan oleh banyak lembaga filantropi. Saya kira, tinggal bagaimana mengembangkan ke depan”, ujar Anik Rifqoh yang pengalaman di berbagai lembaga filantropi. Anik Rifqoh menyampaikan data-data menarik. Misalnya bahwa di era digital, anak-anak muda lebih senang berwakaf. Berdasarkan data Forum Wakaf Produktif, jumlah orang yang wakaf adalah 48 % orang berusia 24 sampai  35 tahun, 35 persen umur 35-55 tahun, dan 11 persen berusia 55 tahun. “Indonesia hingga saat ini adalah negara paling dermawan dunia. Jika melihat data Forum Wakaf Produktif, maka sesungguhnya masih banyak peluang besar untuk pengembangan wakaf ke depan”, ujarnya. Baik wakaf maupun zakat, lanjut Anik, dalam manajemennya sesungguhnya tidak jauh beda. “Kini untuk memperkuat zakat maupun wakaf, ada nadzir dan amil zakat yang harus tersertifikasi oleh BNSP. Makanya, lembaga wakaf harus punya ini sehingga menambah trust pada lembaga filantropi kita,” tukas Wakil Direktur Bidang Fundraising, Humas dan IT NU Care-LAZISNU PBNU. Dalam hal fundrising, Anik Rifqoh menekankan pentingnya inovasi program lembaga. Selain itu, harus dibangun trust dengan banyak hal. Misalnya legalitas lembaga dengan telah mendapat mendapat SK dari Badan Wakaf Indonesia dan Baznas. “Selain itu, tentu program dijalankan dengan amanah, transparan dan profesional, menjadikan lembaga kita akan selalu dilihat oleh masyarakat luas dan tentunya berdampak pada masyarakat luar,” tuturnya.   Di akhir, Anik Rifqoh memberi masukan agar dibedakan manajemen dan website wakaf dengan zakat. “Ke depan, saya kira, harus dibedakan antara zakat dan wakaf. Insyaallah, akan berkembang dengan pesat Lembaga Wakaf Darul Hikam”, ujarnya. Reporter : Wildan Rofikil Anwar Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Menagih ‘Janji Damai’ Timur Tengah Donald Trump

Bagaimana masa depan Timur Tengah pascakemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS pada 5 November 2024 ini?  Mengapa pertanyaan ini urgen adalah mengingat Donald Trump telah berjanji untuk mendamaikan Timur Tengah dalam kampanyenya. Presiden AS dengan umur tujuh puluh delapan tahun ini  mengatakan “During my administration, we had peace in the Middle East, and we will have peace again very soon! I will fix the problems caused by Kamala Harris and Joe Biden and stop the suffering and destruction in Lebanon. I want to see the Middle East return to real peace, a lasting peace, and we will get it done properly so it doesn’t repeat itself every 5 or 10 years!” Sebagaimana maklum, Donald Trump (Partai Republik) telah memenangi Pilpres AS mengalahkan kompetitornya, Kamala Harris (Partai Demokrat), Jill Stein, (Partai Hijau) dan Chase Oliver (Partai Libertarian).  Donald Trump terpilih menjadi presiden ke-47 Amerika Serikat pada Rabu, 6/11/2024 (Harian Kompas). Donald Trump meraup 295 suara elektoral melebihi dari minimal suara elektroal yang mencapai 270 suara. Kemenangan Trump dalam Pilpres AS 2024 terjadi saat Timur Tengah bergejolak setelah pecah perang Israel-Hamas, Israel Hizbullah dan saling menyerang antara Israel dan Iran.      Salah satu elemen yang menyumbang besar suara Donald Trum adalah Muslim dan komunitas Arab di Michigan yang juga menjadi kunci pemenangan Trump dalam Pilpres AS tahun 2024 ini. Di negara bagian Michigan, Donald Trump memenangkan 15 suara elektoral. Kamala Harris diduga kuat dikalahkan oleh Trump karena dukungannya yang tanpa reserve pada Israel. Selain berharap Donald Trump dapat membawa kebaikan pada komunitas mereka, Presiden AS terbaru ini diharapkan dapat menciptakan perdamaian yang lebih baik pada Israel, Palestina dan Timur Tengah.    Meski baru akan dilantik Januari 2025, publik bisa mulai menagih janji damai Timur Tengah Donald Trump. Pernyataan Donald Trump di atas misalnya menegaskan posisinya untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Donald Trump secara khusus menyebut Lebanon dengan harapan perdamaian terjadi di negeri ini. Meski melihat jejak Donald Trump, kita akan pesimis dengan perdamaian di Timur Tengah dan Palestina.     Proksi Iran dan Kebijakan Donald Trump Proksi-proksi Iran adalah hal urgen lain yang menentukan perdamaian Timur Tengah di masa kini dan masa yang akan datang. Proksi Iran, adalah Hamas di Palestina, Hizbullah di Lebanon, Hizbullah di Irak, Houti di Yaman, Irak dan Suriah serta beberapa negara lain. Proksi Iran telah menjadi “satu frekuensi” yang menentukan perlawanan terhadap Israel. Sebaliknya, Israel juga tegas terhadap seluruh proksi Iran yang menghalangi keinginan Israel untuk ‘menguasai’ penuh Palestina.   Mesir dan Yordania,–dua negara yang bukan merupakan proksi Iran–, akan aman-aman saja karena tidak menjadi target perang Israel. Bahkan, kedua negara tetangga ini juga memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Sebaliknya, dua negara ini juga ‘tidak memberikan dukungan’ signifikan pada kemerdekaan Palestina sebagaimana umumnya negara Muslim dunia yang lain. Ini adalah implikasi hubungan diplomatik dengan Israel.      Jika Donald Trump bersikap baik pada Lebanon, maka tidak demikian halnya dengan Iran dan proksi Iran yang lain. Donald Trump memiliki citra buruk di Iran dengan kebijakannya yang tidak mendukung Iran. Sejak tahun 1979, Iran telah memiliki hubungan yang kurang harmonis pada Amerika Serikat. Puncak hubungan tidak harmonis ini ada pada masa Donald Trump (2016-2020), dimana dia menjadi presiden yang paling vokal menentang kebijakan pengembangan nuklir Iran. Bahkan, pada tahun 2018, Donald Trump menarik dari kesepakatan perjanjian pengembangan nuklir dengan Iran. Jika melihat ini, maka tipis harapan Donald Trump akan menjadi solusi bagi perdamaian Timur Tengah untuk tidak mengatakan sebagai sebuah keajaiban. Lalu apa komitmen dan langkah yang akan dilakukan Donald Trump untuk mewujudkan damai di Timur Tengah?      Donald Trump dan Masa Depan Palestina  Ketika kemenangan Pilpres AS berada di tangan Donald Trump, maka kebijakan AS akan tetap berpihak pada Israel. Kebijakan yang tidak akan jauh dari Joe Biden, presiden AS periode 2020-2024 untuk mendukung Israel. Kita masih ingat, bagaimana Donald Trump pernah menyetujui kebijakan memindahkan ibukota Israel dari Tel Avif ke Jerussalem di periode awalnya sebagai presiden 2016-2024 yang silam. Jejak rekam Donald Trump yang tidak pro-Palestina juga terlihat dari suara vokalnya mengecam kelompok Hamas Palestina yang melakukan serangan militer Israel pada 7 Oktober 2023. Donald Trump juga terkesan biasa-biasa saja dan tidak berempati dengan lebih dari 43.000 warga Palestina yang tewas dalam medan perang.   Hanya saja, Donald Trump akan memfokuskan pada pembenahan ekonomi dalam negeri dan meminimalkan peran AS di luar negeri ini. Fokus ini pula yang menjadikan mayoritas rakyat Amerika Serikat memilih Donald Trump pada Pilpres sekarang ini. Sebaliknya, rendahnya agenda pemulihan ekonomi rakyat Amerika Serikat menjadikan Kemala Haris tidak populis dan akhirnya mendapatkan dukungan minimalis dari rakyat negeri Paman Sam tersebut yang berakhir dengan kekalahannya dalam Pilpres tahun imi.   Namun, bukan berarti tidak ada peluang sedikitpun dari Donald Trump. Presiden Palestina, Mahmud Abas memandang Donald Trump sebagai presiden AS yang akan mengakui negara Palestina. Selain itu, menurut Mahmud Abas, Donald Trump akan bekerja sama dengan Palestina untuk menciptakan perdamaian di Palestina. Donald Trump, bagi Mahmud Abas, akan berupaya untuk menghentikan perang dan bersiap bekerja sama dengan Presiden Abbas serta pihak-pihak terkait di kawasan dan dunia untuk menciptakan perdamaian. Lebih dari itu, Donald Trump akan mendukung aspirasi sah Palestina sebagai sebuah negara.   Hanya saja tunggu dulu; jangan terlalu banyak berharap dengan Donald Trump dengan kebijakan abu-abunya, baik  di Palestina maupun negara Timur Tengah yang lain. Oleh karena itu, masyarakat dunia tetap harus bergerak secara mandiri menciptakan perdamaian di Timur Tengah dan kemerdekaan Palestina. Misalnya mengotiptimalkan peran negara-negara yang sebelumnya terus gigih memperjuangkan kemerdekaan Palestina seperti Indonesia, Afrika Selatan, Malaysia,  Turki dan negara lain dunia. Dewan Tetap Keamaan PBB harus direformasi agar AS tidak selalu menggunakan Hak Veto untuk mendukung Israel dan abai terhadap 143 negara terhadap usulan kemerdekaan Palestina.  Walhasil, jalan panjang nan terjal masih terus akan dilalui, namun ikhtiar perjuangan bersama tetap akan dilakukan untuk mewujudkan perdamaian dan kemanusiaan universal.  Wallahu’alam.  Sumber: https://arina.id/perspektif/ar-2bLkV/menagih–janji-damai–timur-tengah-donald-trump

Hukum Mengonsumsi Makanan Tanpa Label Halal

Pertanyaan: Assalamualaikum wr wb. Kak, bagaimana hukum mengonsumsi makanan tanpa label halal menurut fiqh Syafi’i? (Adila Anis). Jawaban: Waalaikumus salam Wr. Wb. Terima kasih kami sampaikan kepada saudari penanya yang telah berkenan menanyakan permasalahan ini kepada NU Online. Penanya dan pembaca setia NU Online yang budiman semoga kita semua diberi kemudahan dan kelancaran dalam segala aktivitasnya.  Di Indonesia, terdapat beberapa institusi yang mempunyai otoritas menerbitkan label halal. Label Halal ini tidak dipungkiri memiliki fungsi penting bagi masyarakat, terutama umat Islam sebagai jaminan dan panduan dalam memastikan kehalalan suatu produk mulai dari bahan baku, proses produksi, pengolahan sampai menjadi barang produksi yang siap dikonsumsi. Dengan demikian konsumen akan merasa tenang dan yakin dengan apa yang ia konsumsi.  Namun demikian, dalam syariat Islam kehalalan suatu makanan penentu utamanya bukan Label Halal, melainkan ketetapan dari Allah (syari’) berdasarkan dalil syariat. Label halal ini sifatnya hanya administratif dan penguat saja. Sehingga makanan yang asalnya halal tanpa adanya Label Halal pun hukumnya tetap halal dikonsumsi.  Dalam pandangan Madzhab Syafi’i hukum asalnya segala sesuatu adalah diperbolehkan hingga terdapat dalil yang menyatakan keharamannya. Imam As-Suyuthi dalam al-Asybah wan Nadhair Jilid I (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1403: 60) mengatakan:  Artinya, “Hukum asal segala sesuatu adalah boleh hingga terdapat dalil yang menunjukkan keharamannya.” Menurut beliau, kaidah tersebut ditopang oleh beberapa hadits, di antaranya dua hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani sebagai berikut: Artinya, “Apa yang Allah halalkan maka ia halal (hukumnya) dan apa yang Allah haramkan maka ia haram (hukumnya) dan apa yang Allah diamkan maka ia dimaafkan, maka terimalah maaf-Nya karena Allah tidak pernah melupakan sesuatu apapun.” (HR. Al-Bazzar dan Thabrani) Artinya, “Sesungguhnya Allah sudah mewajibkan perkara yang wajib maka janganlah kalian menyia-nyiakannya, dan Allah sudah membatasi sesuatu maka janganlah kalian melampauinya, dan Allah mendiamkan sesuatu bukan karena lupa karenanya janganlah kalian sibuk mencari-cari (hukumnya).” Dalam redaksi lain dijelaskan, “Dan Allah mendiamkan sesuatu bukan karena lupa, maka janganlah kalian membebani diri kalian dengan perkara tersebut. Itu adalah bentuk rahmat untuk kalian, maka terimalah (rahmat itu).” (HR. Thabrani).  Penjelasan di atas menegaskan bahwa hukum halal dan haram segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak memiliki dalil yang jelas terkait kehalalan dan keharamanannya, maka hukumnya diperbolehkan. Kaidah ini berlaku umum baik berkaitan dengan perbuatan, benda, hewan, makanan, minuman, tumbuhan dan selainnya. Berkaitan dengan hal ini Syekh Abdul Wahab Khalaf menjelaskan: Artinya:, “Apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum suatu hewan, benda mati, tumbuhan, makanan, minuman, atau suatu pekerjaan, lalu ia tidak menemukan dalil syar’i yang menetapkan hukumnya, maka ia menetapkan bahwa hukumnya adalah mubah (boleh). Sebab, asal hukum segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjukkan perubahan hukum tersebut.” “Adapun asal hukum segala sesuatu adalah mubah, karena Allah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia: ‘Dialah yang menciptakan untuk kalian apa yang ada di bumi semuanya’ (QS. Al-Baqarah: 29). Allah juga menegaskan dalam beberapa ayat bahwa Dia telah menundukkan untuk manusia apa yang ada di langit dan di bumi. Segala sesuatu yang ada di bumi tidak mungkin diciptakan untuk manusia dan ditundukkan bagi mereka kecuali jika itu mubah bagi mereka. Sebab, jika sesuatu itu diharamkan atas mereka, maka tidak mungkin itu disebut sebagai diciptakan dan ditundukkan untuk mereka.” (Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, [Kairo, Maktabah ad-Da’wah Syababul Azhar: t.t] halaman 91-92).  Syekh Bakri Syatha menjelaskan bahwa segala sesuatu yang hukum asalnya telah ditetapkan kehalalan, keharaman, kesucian atau kenajisannya maka hukumnya tidak akan pernah berubah kecuali dilandasi dengan keyakinan bahwa sesuatu tersebut mengalami perubahan. Beliau menyebut dalam I’anatuth Thalibin Jilid I (Beirut, Darul Fikr, t.t.: 125): Artinya, “Apabila asal hukum telah ditetapkan dalam kehalalan atau keharaman, atau kesucian atau kenajisannya, maka hukum itu tidak akan berubah kecuali dengan keyakinan. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki wadah berisi air, cuka, susu dari hewan yang halal dimakan, atau minyaknya, lalu ia ragu apakah wadah itu terkena najis atau tidak, atau wadah yang berisi air perasan anggur dan ragu apakah sudah berubah menjadi khamar atau belum, maka tidak haram untuk mengonsumsinya.”  Dari paparan penjelasan di atas menjadi jelas bahwa makanan yang secara hukum asalnya halal dan tidak diketahui secara pasti dan meyakinkan terdapat bahan yang haram atau najis dalam proses pengolahannya maka hukumnya halal dikonsumsi meskipun tanpa label halal. Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik. Wallahu a’lam Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-mengonsumsi-makanan-tanpa-label-halal-7DIcR

Berikan Kuliah Umum di STQK Depok, Prof Haris Dorong Mahasiswa Jadi Pejabat Publik

Depok – Islam sudah sempurna sejak masa Rasulullah SAW, dan agama ini tetap relevan hingga kini, bahkan di tengah perkembangan zaman yang pesat. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin, S.Ag., S.H., M.Fil.I., CLA., CWC., dalam Kuliah Umum bertema ‘Islam dan Tantangan Beragama di Dunia’, yang digelar oleh Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an (STKQ) di Aula Masjid Depok, Kamis malam (28/11/2024). Turut hadir Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Depok, KH. M. Yusron Shidqi, Lc., M.A., Ketua Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an (STKQ) Al Hikam, Depok, Dr. Subur Wijaya, M.Pd.I. Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Nasional (IAI) Laa Roiba Bogor, KH. Moh. Romli, M.Pd.I serta ratusan mahasiswa dan mahasantri Al Hikam Depok. Prof. Haris menjelaskan bahwa Islam, sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, merupakan wadlun ilahiyun yang menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Islam terdiri dari tiga unsur utama: tauhid, syariat, dan tasawuf atau akhlak. Ketiga unsur ini, menurutnya, merupakan pondasi utama yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam. “Tauhid adalah keyakinan pada Allah, syariat adalah hukum Islam yang konkret, dan akhlak adalah perilaku muslim yang mendarah daging, yang dilakukan secara reflektif,” ungkap Prof. Haris yang juga Wakil Sekretaris PWNU Jawa Timur. Ia kemudian mengajak untuk merenung, apakah Islam benar-benar rahmatan lil alamin, yakni kasih sayang bagi seluruh umat manusia. Prof. Haris menyoroti tantangan yang muncul setelah wafatnya Rasulullah SAW, termasuk perkembangan teknologi dan situasi sosial yang tidak ada di masa beliau, seperti internet dan telekomunikasi. Untuk itu, ia menegaskan bahwa kontekstualisasi Islam sangat penting agar ajaran Islam tetap relevan dan dapat diterapkan dalam setiap keadaan. “Islam tidak hanya dapat dipahami secara tekstual, tetapi juga harus mampu diadaptasi dengan situasi zaman yang terus berkembang, seperti melalui ijtihad,” jelas Kiai kelahiran Demak itu. Menurut Prof. Haris, kontekstualisasi Islam dapat dilihat dari berbagai fatwa yang dihasilkan oleh para ulama, termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah fatwa mengenai pernikahan beda agama yang melarang pernikahan antara seorang Muslim dengan non-Muslim, meskipun beberapa ulama luar membolehkan pernikahan antara pria Muslim dengan wanita ahli kitab. Contoh lain, katanya, adalah fatwa MUI yang membolehkan makan kepiting meskipun dalam fikih klasik, hewan yang hidup di dua alam seperti kepiting diharamkan. Ia juga mencontohkan implementasi rukhsah (keringanan) dalam berwudhu di luar negeri, di mana umat Islam di negara dengan minoritas Muslim terkadang terpaksa membasuh sepatu sebagai pengganti air wudhu. Prof. Haris menambahkan bahwa Islam dapat diimplementasikan di berbagai kondisi, meskipun tidak selalu sesuai dengan praktik tradisional. “Inilah yang saya maksudkan dengan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Islam bisa diterapkan di mana saja dan kapan saja, serta bisa dikontekstualisasikan sesuai kebutuhan zaman,” ujar Prof Haris yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember. Di akhir kuliah umum, Prof. Haris juga mengingatkan pentingnya mendoakan para ulama, termasuk KH. Ahmad Hasyim Muzadi dan KH. Abdul Muchith Muzadi, dua tokoh besar di Nahdlatul Ulama yang telah banyak berjasa dalam membentuk dan membawa perubahan bagi umat Islam. Dalam penutupnya, Prof Haris berpesan kepada mahasiswa dan mahasantri Al Hikam Depok untuk selalu optimis dan percaya diri dalam menuntut ilmu Al-Qur’an yang kini mereka tekuni. Menurutnya, pengkajian al-Quran secara mendalam, serta banyaknya tokoh nasional yang merupakan ahli al-Qur’an, seperti Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua MPR RI periode 2019–2024 yang merupakan alumni Institut Ilmu Al-Qur’an Universitas Negeri Jakarta dan Mochammad Afifuddin Ketua KPU yang alumni Tafsir Hadir UIN Jakarta dapat menjadi motivasi bagi mereka. “Ada banyak tokoh regional dan nasional lainnya yang juga memiliki latar belakang Al-Qur’an sebagai landasan dalam kiprah mereka, sehingga bisa menjadi inspirasi bagi adik-adik semuanya,” tutupnya. Ketua Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an (STKQ) Al Hikam, Depok Dr. Subur Wijaya, M.Pd.I, mengungkapkan rasa terima kasih dan kebanggaannya atas kehadiran Prof. Haris di kampusnya. “Kami sangat senang bisa mengadakan kuliah umum dengan mengundang Prof. Haris, seorang guru besar termuda dari UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember yang masih berusia 39 tahun,” katanya. Reporter : Rico Aldy Munafan Editor : M. Irwan Zamroni Ali