Judul Buku :Kiai Nyentrik Menggugat Feminsme Penulis :Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil. I
Penerbit :STAIN Jember Press
Tahun Terbit :Juli 2013
Tebal :146
Secara umum pndangan kaum tradisional cenderung memandang bahwa perempuan adalah makhluk nomor dua. Pandangan perempuan sebagai makhluk nomor dua juga terlihat dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn yang dikarang oleh Shaikh Nawawi Al-Bantani (w. 1316 H) yang sampai saat ini kitab tersebut masih dianjurkan untuk dikaji di pesantren dan majelis kaum perempuan karena dianggap memiliki relevansi dengan zaman apapun.
Nawawi memperlihatkan perspektif yang kuat dalam kitab tersebut terhadap kecenderungan patriarki laki-laki, dalam pandangan ini, diberi kekuasaan superior untuk mengambil semua keputusan dalam semua aspek kehidupan dan diberikan hak untuk mengatur penuh. Kekuasaan ini karena laki-laki memiliki banyak kelebihan baik secara kodrati maupun syar’i. Secara kodrati laki-laki memiliki akal yang lebih tinggi daripada perempuan, secara fisikpun lebih kuat dan memiliki kemampuan untuk berburu dan menulis. Hingga realitas sejarah mencatat bahwa ulama itu muncul dari kalangan laki-laki bukan perempuan. Itu sebabnya hukum lebih banyak disematkan pada laki-laki.
Pemahaman tradisional fiqh yang patriarkis ini menjadikan aktivis gender merasa perlu untuk melakukan interprestasi ulang teks-teks keagamaan. Namun demikian, Masdar berupaya mencari solusi dengan menetralisir ajaran agama yang nampak tidak adil dengan mengatakan bahwa interprestasi ajaran yang nampak bias gender inilah yang sesungguhnya keliru.
Al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Oleh karenanya nilai keadilan yang ada di dalamnya menjadi tolok ukur sah tidaknya sebuah interprestasi (menurut masdar). Selain Masdar, dikalangan akademisi, Nasarudin Umar juga dikenal public karena artikel-artikelnya yang dimuat dalam jurnal Ulumul al-Qur’an tentang isu-isu perempuan sehingga. Disertasi Nasarudin diterbitkan dalam buku yang berjudul Argumen Kesetaraan Gender memberikan dasar-dasar argument keislaman bahwa gender atau kesetaraan gender merupakan hal yang didukung oleh Islam.
Namun, kajian secara khusus terhadap fiqh perempuan yang terkait dengan peran-peran domestic gender baru dilakukan oleh K.H. Husain Muhammad yang melanjutkan pemikiran pendahulunya, yakni Masdar F. Mas’udi. Kiai feminis, secara garis besar. Masdar, Nasarudin dan K.H. Husain Muhammad menjadikan isu kesetaraan gender menjadi panglima. Secara konsteptual ketiga tohoh akademisi tersebut yaitu Nasarudin, K.H. Husain Muhammad dan Umar merupakan kalangan Islam yang mewakili setuju dengan tema-tema gender.
Pandangan yang moderat di antara dua kutub ekstren ini, adalah K.H. Abd. Muchith muzadi. Yang biasa disebut kiai Muchith tentang gender sangat kontekstual dan berbasis kemaslahatan dalam berpandangan bahwa peranan perempuan dalam kehidupan setara dengan kaum laki-laki, bukan hanya di bidang biologis dan ilmiah, melainkan juga berbagai kehidupan yang lain. Hanya saja menurut kiai Muchith, ada perbedaan besar kecil peranan dalam suatu bidang tertentu. Uniknya, gagasan fiqh perempuan kiai Muchith jauh sebelum K.H. Masdar yang dikenal sebagai bapak gender di kalangan umat muslim Indonesia.
Dari uraian inilah kegelisahan Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil. I selaku penulis, untuk memilih pemikiran peran domestik perempuan K.H. Abd. Muchith Muzadi sebagai objek kajian pemikiran dan bertolak dari semua latar sosial ini pula penulis memandang penting penelitian yang berjudul “Peran domestic perempuan menurut KH. Abd. Muchith Muzadi ”.
Dalam terma ilmiah, peran domestic selalu dikaitkan secara vis a vis dengan peran public. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, domestic berarti sesuatu yang berhubungan dengan atau mengenai permasalahan dalam negeri. Makna lain, domestik juga bermakna (sifat) rumah angga. Sementara public adalah orang yang banyak (umum). Di sini terlihat bahwa letak makna domestic dan public berkaitan dengan masalah dalam dan luar rumah tangga.
Secara terminologi, peran domestic perempuan berarti perempuan diberi kewajiban untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti mengurus anak, mengurus suami, memasak, mencuci, membersihkan rumah, mendidik dan mengajarkan norma peraturan yang berlaku di dalam masyarakat kepada si anak. Sementara itu, peran laki-laki di ranah public dikaitkan dengan tugas pokok rumah tangga sebagai tulang punggung keluarga.
Dengan demikian istilah dunia public atau sector public acapkali diperhadapkan dengan dunia domestic. Yang pertama digambarkan dunia laki-laki sedangkan yang kedua dianggap dunia perempuan. Para feminis berusaha menghilangkan sekte budaya ini karena dianggap warisan kultur dari masyarakat primitive yang menempatkan laki-laki sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai peramu (gatherer).
Dalam tahap selanjutnya, sekat budaya seperti ini masih cenderung diakomodir dalam masyarakat modern terutama dalam system kapitalis. Menurut para feminis, pembagian kerja yang berdasarkan jenis kelamin bukan saja merugikan perempuan namun juga sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam masyarakat modern karena laki-laki dan perempuan memiliki peluang profesi yang sama untuk mengakses ke berbagai bidang profesi.
Di samping itu peran domestik dalam pandangan gender dipandang sebagai peran yang pejorative. Sebaliknya pera publik dipandang sebagai peran yang lebih tinggi dan bermartabat. Ini karena bagunan yang membedakan antara ruang public dan privat sepanjang sejarah manusia dan nyaris tanpa kritik. Dari sinilah muncul perempuan oleh gerakan feminism dianjurkan untuk keluar rumah dengan menggeluti peran publiknya sembari meninggalkan peran domestiknya untuk dapat setara dengan laki-laki.
Namun Islam adalah ajaran Allah SWT yang Maha Mengatur, maha kuasa dan Maha Bijaksana. Sikap dan peraturannya pasti sesuai dengan kebijaksanaan-Nya dalam mencipta. Seperti disebutkan dalam buku Risalah Fiqh Wanita, gagasan untuk memartabatkan perempuan oleh Kiai Muchith tidak dengan cara memprovokasi perempuan untuk keluar rumah dengan meninggalkan peran-persn domestic menuju peran-peran public, namun dengan memberikan ruang yang proporsional terhadap perempuan dengan beracuan pada nilai-nilai Islam yang universal.
Bertolak dari pemikiran kemaslahatan inilah kiai Muchith memandang bahwa baik laki-laki maupun perempuan diberi peranan sesuai dengan sifat, bakat, minat dan kepentingannya. Selain itu, kata Kiai Muchith, masing-masing juga diberi peranan untuk kemaslahatan bersama dan kemaslahatan untuk seluruh kehidupan ini. Oleh karena itu menurut Kiai Muchith, laki-laki dan perempuan adalah sama, namun juga tidak sama. Artinya, kedudukan laki-laki dan perempuan itu di mata Agama islam adalah sama. Soal martabat, kemuliaan , dan kehormatan, bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara. Namun dalam berbagai aspek kehidupan, laki-laki tidak sama dengan perempuan.
Demikian pulalah kemudian perempuan harus diperlakukan secara sama dengan laki-laki. Karena perempuan secara kodrat memang diciptakan berbeda dengan laki-laki. Karena itu, bagi kiai Muchith, biarkan perempuan menjadi perempuan dengan peran keperempuanny yang tidak kalah terhormatnya dengan laki-laki. Sebaliknya, biarkan laki-laki juga menjadi laki-laki tanpa dipaksa untuk menjadi perempuan.
Prof Haris menuliskan buku ini sangat tepat sekali dengan memilih pemikiran peran domestic perempuan K.H. Abd. Muchith Muzadi karena pemikirannya yang moderat sebagai bentuk dialog antara khazanah islam tradisional dengan gender yang belum banyak dibagas, sedangkan pembahasan pemikiran peran domestic perempuan mencerminkan dialog kedua titik yang berjalan dimasing-masing ekstrem yaitu kesetaraan gender dan pro patriarkis yang mana buku ini sangat tepat untuk menjawab persoalan-persoalan perempuan yang sampai saat ini masih diperbincangkan sehingga cocok untuk dijadikan sebuah rujukan.
Tak lepas dari itu semua, dalam buku ini ada beberapa kekuarangan yang mungkin disebabkan karena penulis lupa atau karena ada sebuah kendala sehingga ada beberapa kesalahan kata yang tak ditemukan maknanya dan bahasanya yang memang baku ini menjadi kendala paham bagi pembaca awam seperti saya. Begitulah kesempurnaan adalah proses, semoga untuk kedepannya Prof Haris lebih banyak mengeluarkan karya-karyanya baru untuk lebih menyempurnakan dan menyalurkan ilmu serta barokahnya terhadap si pembelajar maupun pembaca.
Peresensi : Robigatunnasibah
Mahasiswa Faskultas Syariah IAIN Jember, alumni Intermediate Journalism Class.