Oleh: M. Noor Harisudin*
Pagi itu, ketua sebuah majlis pengajian di Jember bersilaturrahmi ke pondok pesantren kami di Mangli Kaliwates Jember. Padahal, saya sudah bersiap ke luar rumah dengan keluarga. Saya pun akhirnya harus menunggu sejenak. Saya turun dari mobil dan menyalaminya masuk ke rumah.
“Mohon maaf, mengganggu“, ungkapnya melihat saya dan istri bersiap pergi.
Saya mulai menerka hal ihwal tema yang mau dibicarakan denganya. Terutama dengan virus Corona yang sedang menjadi bencana dunia, termasuk di negara kita tercinta, Indonesia.
“Saya minta maaf. Pengajian yang sedianya akhir Maret 2020 ini ditunda bulan Juni 2020. Karena menghindari kumpulan banyak orang, sebagaimana anjuran pemerintah“, pinta ustadz ini pada saya. Saya pun mengangguk setuju.
Saya maklum saja. Beberapa hari ini, berita di medsos, media cetak maupun media elektronik semuanya memberitakan Covid-19 atau Virus Corona Disease. Artinya, saya setuju dengan penundaan ini. Beberapa pengajian di Masjid Agung dan Masjid Besar di kota kami sementara juga sudah saya stop. Jadwal keluar kota: Surabaya, Jakarta, Lampung, Palembang, Aceh, Maluku dan sebagainya juga saya pending semua bulan Maret dan April 2020 sembari menunggu info ter-update.
Sebagaimana maklum, Covid-19 yang muncul sejak Desember 2019 di Wuhan China ini telah menjadi hantu dunia. Hingga Maret 2020, menurut realtime Worldmeters (Sabtu, 14 Maret 2020) virus ini telah menyerang ke 169 negara dan 145.637 orang dengan angka kematian 5.4167 nyawa manusia. Selain sangat cepat penyebarannya, virus ini juga belum ditemukan vaksinnya. Organisasi kesehatan dunia WHO pada awal Pebruari 2020 ini juga menetapkan darurat global atas virus ini dan pada 11 Maret 2020 menyatakan virus ini sebagai pandemi.
Beberapa tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2003, Virus SARS telah menelan korban global 774 orang dari 8.100 kasus. Demikian juga pada tahun 2012 yang silam, virus Mers. Hanya saja, Covid-19 ini telah melampaui jumlah korban SARS ataupun MERS hanya dalam waktu setengah bulan.
Bukan karena takut corona. Status yang saya buatpun direspon banyak jamaah di berbagai negara. “Ketakutanmu pada makluk-Nya bukan pada Sang Pencipta adalah tanda lemahnya imanmu pada kuasa-Nya”.
Kita memang tidak boleh takut pada siapapun, kecuali hanya pada Sang Pencipta. Hanya saja, sebagai antisipasi dan ikhtiar untuk menghindari dari virus yang sangat mematikan tersebut, kita perlu melakukan langkah-langkah pencegahan, termasuk mengganti ibadah sholat Jumat dengan dluhur di tempat zona merah yang terpapar Covid-19.
Masjid Istiqlal di Jakarta pada Hari Jum’at, tanggal 20 Maret ini juga meniadakan sholat Jumat berjamaah dan menghimbau umat Islam untuk sholat dluhur di rumah masing-masing. Meski tetap melaksanakan Jumat, Masjid Al-Akbar Surabaya tetap melakukan ikhtiar pencegahan dengan menggulung karpet, menyemprotkan disenfektan dan membuat pengetatan jamaah yang masuk ke dalam masjid kebanggaan orang Jawa Timur tersebut.
Ikhtiar seperti ini selaras dengan apa yang dilakukan Umar bin Khattab, ketika wabah tha’un datang pada warga negeri Syam saat itu. Sebagian orang bertanya tentang kebijakan Umar bin Khattab.
“Wahai Amirul Mukminin, apakah ini lari dari takdir Allah?”, tanya Ubaidah.
Umar menjawab: “Mestinya orang selain engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah. Benar, ini lari atau berpaling dari takdir Allah ke takdir yang lain. Tidaklah engkau melihat, seandainya engkau memiliki unta dan lewat di suatu lembah dan menemukan dua tempat untamu; yang pertama subur, dan yang kedua gersang, bukankah ketika engkau memelihara di tempat yang subur berarti itu takdir Allah. Demikian juga apabila engkau memeliharanya di tempat yang gersang, apakah itu juga takdir Allah?“. (Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah: at-Thib an-Nabawi)
Pada sisi lain, kepanikan terhadap virus Corona dan masyarakat dunia mengingatkan saya pada perkataan Ibnu Athailah al-Iskandari dalam kitab Hikam. “Al-Ghaafilu idza ashbaha yandluru maadza yafalu wal aaqilu yandluru maadza yafalu Allahu bihi“. Artinya, “Orang lalai memulai harinya dengan berpikir apa yang harus dilakukan. Orang berakal berpikir apa yang akan Tuhan lakukan terhadapnya“.
Virus Corona benar-benar di luar kekuasan manusia: ilmu pengetahuan dan teknologi seolah dibuat tidak berdaya. Akal manusia tidak lagi menandingi keampuhan virus corona. Peradaban manusia terlihat rapuh berhadap-hadapan dengan virus Corona. Sebaliknya, Covid-19 menunjukkan dengan jelas ke-mahakuasa-an Tuhan.
Saya tidak tahu: apakah rekayasa Tuhan berhenti pada Covid-19 ini. Setelah tiga bulan pasca virus Corona, apakah akan ada lagi kejadian yang lebih dahsyat? Wallahu’alam. Mengapa kita harus kembali pada keluarga ?. Mengapa kita harus menghentikan aktivitas kita semua: sebagai dosen, guru, pengusaha, petani, pedagang, advokat, hakim, jaksa, dan sebagainya ?.
Saya mendadak menjadi teringat dengan petuah Ibnu Athailah al-Iskandari dalam lembaran lain kitab Hikam-nya. “Alima annaka laa taqbalu an-nusha al-mujarrada fadzawwaqaka min dzawaaqiha maa sahhala alaika wujuuda firaaqiha“. Maksudnya, Allah mengetahui bahwa kamu sulit menerima nasihat begitu saja. Oleh karena itu, Dia memberimu pahitnya musibah agar kau mudah meninggalkan dunia.
Jangan-jangan, ini adalah peringatan. Jangan-jangan, ada rekayasa dahsyat lain pasca virus Corona. Justru dalam keadaan ‘panik’ ini, kita musti merapat dan bersimpuh ke haribaan-Nya.
“Kita belum tahu hikmah di balik virus corona sebagai bencana dunia. Boleh jadi, bencana ini menjadi peringatan pada kita saat telinga menjadi tuli, mata menjadi buta dan hati menjadi sekeras batu permata. Agar kita secepat kilat merapat ke haribaan-Nya. **
*Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember, Pendiri Majlis Taklim Bengkel Kalbu, Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur dan Ketua Umum ASPIRASI (Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia)*.