Meski agak terlambat, gema SDGs masih kita rasakan di Jember. Apalagi ketika Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Jember dan sejumlah perguruan tinggi di Jember seperti IAIN Jember dan Universitas Jember ikut mendiskusikan, (mungkin) mengkritik bahkan malah mengimplementasikan SDGs di sejumlah kabupaten Jember. Kita melihat dengan seksama, gencarnya kampanye SDGs oleh Baznas dengan membangun kampung-kampungnya bahkan di pelosok tertinggal Jember. Tidak penting, apakah orang kampung di pelosok itu paham tentang SDGs atau tidak. Dalam amatan saya, kampanye ini relatif berhasil.
Lalu, pertanyaannya: ‘makhluk’ apa SDGs itu? SDGs adalah singkatan dari Sustainable Development Goals. Sustainable Development Goals adalah tujuan pembangunan berkelanjutan yang disahkan 25 September 2015 di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York. Tak kurang dari 193 kepala negara di dunia hadir. Dari Indonesia diwakili oleh Wakil Presiden saat itu, Yusuf Kalla.
Berbeda dari pendahulunya Millennium Development Goals (MDGs), SDGs dirancang dengan melibatkan seluruh aktor pembangunan, baik itu pemerintah, civil society organization (CSO), sektor swasta, maupun akademisi, dan sebagainya. Kurang lebih 8,5 juta suara warga di seluruh dunia juga berkontribusi terhadap tujuan dan target SDGs.
Tema pertemuan saat itu adalah “Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan”. SDGs sendiri berisi 17 tujuan dengan menerapkan 169 target yang merupakan aksi global sejak tahun 2016 sampai dengan 2030. Tujuan akhirnya agar tidak ada kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berlaku bagi seluruh negara (universal), sehingga seluruh negara tanpa kecuali negara maju memiliki kewajiban moral untuk mencapai tujuan dan target SDGs.
Secara ringkas, 17 tujuan SDGs sebagaimana berikut: (1) Menghapus kemiskinan (2) Mengakhiri kelaparan; (3) Kesehatan yang baik dan kesejahteraan; (4) Pendidikan bermutu; (5) Kesetaraan gender; (6) Akses air bersih dan sanitasi; (7) Energi bersih dan terjangkau; (8) Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; (9) Infrastruktur industri dan inovasi; (10) Mengurangi ketimpangan; (11) Kota dan komunitas yang berkelanjutan; (12) Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; (13) Penanganan perubahan iklim; (14) Menjaga ekosistem laut; (15) Menjaga ekosistem darat; (16) Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang kuat; dan (17) Kemitraan untuk mencapai tujuan.
Dalam pandangan saya, SDGs adalah konsensus bersama tentang kemaslahatan universal yang sesuai dengan Islam. Dalam kajian keislaman, demikian ini disebut dengan “Maqahidus syari’ah “ yang bersifat ammah.
Tentang Maqashidus Syariah ini, Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin (1973: 333), mengatakan: “Sesungguhnya syariat itu bangunan dan fondasinya didasarkan pada kebijaksanaan (hikmah) dan kemaslahatan para hambanya di dunia dan akhirat. Syariat secara keseluruhannya adalah keadilan, rahmat, kebijaksanaan dan kemaslahatan. Maka dari itu, segala perkara yang mengabaikan keadilan demi tirani, kasih sayang pada sebaliknya, kemaslahatan pada ke-mafsadat-an, kebijaksanaan pada kesia-siaan, maka itu bukan syariat, meskipun semua itu dimasukkan ke dalamnya melalui interpretasi.”
Selanjutnya, Imam Al-Ghazali (Abu Zahra: 1994) menjelaskan detail Maqashid yang kembali pada maslahat yang di-breakdown dengan“…Akan tetapi, yang kita maksud dengan maslahah adalah maqshud as-syar’i. Sementara tujuan syar’i dari makhluk adalah memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Setiap sesuatu yang mengandung lima hal ini adalah maslahah. Sementara, yang tidak mengandung lima ini adalah mafsadah dan menolaknya termasuk maslahah…”
Para pemikir dan tokoh Maqashid Syariah yang lain seperti Ramadlan al-Buthi, Jamaludin Athiyah, Jaser Auda, Ar-Raisuni, Bin Bayah, dan sebagainya lebih detail lagi menyebut dalam domain keluarga (Maqashid al-Usrah), ekonomi (Maqashid al-Iqtishad), lingkungan hidup (Maqashid al-bi’ah), dan maqashid-maqashid lainnya. Oleh karena itu, hemat saya, SDGs adalah “Maqashid Syariah” yang menjadi konsensus umat dunia yang tidak dapat diingkari keberadaannya dan bersifat universal.
Pertanyaan selanjutnya: lalu, apa yang bisa dilakukan terutama generasi milenial untuk program SDGs tersebut? Pertama, generasi milenial harus sadar bahwa problem radikalisme ekonomi menjadi ancaman serius ‘daripada radikalisme agama’. Problem kemiskinan akut harus diselesaikan dengan segera. Kesadaran ini menjadi penting sebagai starting point generasi milenial di masa sekarang.
Kedua, generasi milenial tidak perlu lagi melakukan provokasi ala komunisme terhadap publik luas. Namun, mereka harus melakukan upaya-upaya yang membangun Indonesia dengan memperkuat ekonomi. Dengan kata lain, generasi milenial harus muncul menjadi pengusaha-pengusaha hebat yang menguatkan ekonomi Indonesia dan turut serta menyejahterakan masyarakat Indonesia.
Ketiga, generasi milenial harus sinergi dan bekerja sama dengan bukan hanya jejaring di negeri sendiri, namun juga luar negeri untuk membangun dan mempercepat tercapainya tujuan dan target SDGs di Indonesia di 2030 nanti. Mereka harus bergerak bersama komunitas lain di dunia untuk mencapai cita-cita kemaslahatan yang bersifat universal tersebut.
Keempat, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi paling mutakhir, generasi milenial harus hadir di garda terdepan, dari mengampanyekan hingga mengimplementasikan tujuan SDGs tersebut dalam kehidupan. Artinya, era revolusi industri 4.0 di masa sekarang harus menjadi ‘teman’ dan ‘alat’ generasi milenial untuk mencapai tujuan dan target SDGs pada tahun 2030 nanti. Semoga. Wallahu’alam!
(Prof. Dr. HM. Noor Harisudin, M.Fil.I., Guru Besar dan Dosen Pascasarjana IAIN Jember, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, Ketua Umum ASPIRASI).