Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta didorong oleh Kiai MN. Harisudin untuk menjadi pengusaha kelas kakap di negeri ini. Demikian disampaikan oleh Kiai MN. Harisudin, Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember ketika memberi kuliah Umum dengan tema “Problematika Bisnis Kontemporer dalam Perspektif Hukum Islam”, Senin, 14 Mei 2018, di auditorium Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Hadir kurang lebih 200 mahasiswa Universitas Yogyakarta, khususnya mahasiswa Fakultas Ekonomi. Acara yang dibuka oleh Warek I UNU Yogyakarta ini, Dr Abd Ghafar, MPA juga dihadiri Kaprodi Manajemen, Bu Febri, Kaprodi Akuntansi Bu Puji, Dr. Yogi, Aris Kusumo Diantoro, SE, MBA dan sejumlah dosen UNU Yogyakarta.
“Adik-adik tahu nggak. Wapres Kita Yusuf Kalla pada tahun 2015, pernah mengatakan bahwa dari 40 orang kaya di Indonesia, ini yang muslim hanya 6 orang. Mohon maaf, ini bukan apa-apa, tapi lihat jumlah kita yang dua ratus juta lebih di negeri ini. Orang kayanya hanya 6 orang. Tentu sangat menyedihkan. Makanya, adik-adik mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta harus jadi pengusaha. Nanti bangun gedung untuk UNU Yogyakarta”, jelas Kiai MN. Harisudin yang juga pengusaha penerbitan dan percetakan di Surabaya.
Pada sisi lain, Kiai MN. Harisudin juga meniscayakan mahasiswa untuk memahami bisnis kontemporer. Terutama sejak revolusi teknologi digital, 4.0, ada banyak perubahan model bisnis kontemporer.”Adik-adik mahasiswa harus paham ini. Jangan sampai, tidak tahu macam-macam bisnis. Misalnya, sekarang lagi trend go-food, go-car, go-jek, go-shop, dan sebagainya. Yang penting tidak go blok”, kata Kiai muda yang juga Katib Syuriyah PCNU Jember tersebut disambut tertawa peserta seminar dan kuliah umum.
Namun, para mahasiswa juga paham, tidak semua bisnis dapat dikerjakan. Hanya bisnis yang sesuai syari’ah saja. “Makanya, sebagai seorang muslim, kita harus jeli. Bisnisnya apa dan menurut hukum Islam bagaimana. Apakah ada unsur yang dilarang seperti riba, maisir, gharar, spekulasi tinggi, dan sebagainya. Kalau bisnis ada unsur ini, maka bisnis itu ya dilarang. Kalau tidak, maka diperbolehkan. Dalam mu’amalah, berlaku kaidah: al-ashlu fil mua’amalti al ibahah hatta yadullad dalilu ala tahrimiha. Pada dasarnya, mu’amalah itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya”, ujar Kiai MN. Harisudin yang juga Wasekjen Asosisi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swastya di Indonesia (ABPTSI) yang berkantor di Jakarta.
Kiai MN. Harisudin juga menyebut watak mutaghayirat fiqh mu’amalah. Artinya, fiqh mu’amalah itu sangat dinamis sesuai perkembangan zaman. Apa yang di zaman Nabi tidak ada bukan berarti dilarang. “Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid mengatakan an-nushus mutanaahiyah wal waqai’ ghairu mutanaahiyah. Nas-nash al-Qur’an dan hadits sudah berhenti, sementara peristiwa terus berlangsung sampai sekarang. Karena itu, banyak hukum bisnis kontemporer yang merupakan hasil ijtihad para ulama di masa sekarang”, ujar Kiai MN. Harisudin yang juga Sekjen Pengurus Pusat (PP) Keluarga Alumni Ma’had Aly Situbondo. (Sohibul Ulum/Kontributor NU)