Taipe, NU Online
Di sela-sela kesibukan berdakwah di negeri Formosa, sebutan negeri yang indah untuk Taiwan, Kiai MN. Harisudin, utusan Pondok Pesantren Kota Alif Lam Mim Surabaya, menyempatkan diri berkunjung ke National Taiwan University of Science and Technology di Taipe.
Taipe sendiri merupakan ibu kota Taiwan yang indah dan menawan. Setelah berdiskusi tentang Sistem Bermadzhab dalam Islam dengan puluhan mahasiswa S2 dan S3 di universitas ini (29/12) Wakil Sekjen Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia (ABPTSI) menyampaikan bahwa perguruan tinggi di Indonesia harus banyak belajar ke Taiwan.
Kiai MN Harisudin didampingi Ustadz Didik Purwanto, Sekretaris Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Taiwan. Ustadz Didik Purwanto adalah salah satu mahasiswa S3 di National Taiwan University of Science and Technology. Sebelumnya, alumni Institut Teknologi Surabaya (ITS) ini juga menyelesaikan pendidikan S2 di perguruan tinggi ini. Dalam hitungan Ustad Didik Purwanto, ada kurang lebih 250 mahasiswa Indonesia, baik Muslim atau non-Muslim di kampus ini. Semunya kuliah S2 ataupun S3.
Menurut Kiai MN Harisudin, pendidikan di Taiwan perlu ditiru.
“Kata Ustadz Didik tadi, bahwa perbandingan kuliah S1 dengan Pascasarjana (S2 dan S3) hampir sama. Jumlah mahasiswa S1 di National Taiwan University of Science and Technology tercatat 5.645 dan pasca sarjana berjumlah 4.744 (total yang S2 dan S3). Ini menarik karena ternyata pemerintah Taiwan memberi batas minimal kuliah adalah S2. Bandingkan dengan kita (Indonesia) yang S1-nya jumlahnya bisa 6-10 kali lipat pendidikan Pascasarjana. Juga pendidikan di negeri kita baru 9 tahun atau setara SMA”, tukas Sekretaris Yayasan Pendidikan Nahdlatul Ulama Jember tersebut.
Selain itu, yang menarik adalah jumlah profesor yang banyaknya sebanyak jumlah laboratorium yang ada. Ada lebih dari 100 laboratorium, itu artinya ada 100 profesor lebih di kampus ini.
“Luar biasa. Satu profesor untuk satu laboratorium. Setiap hari, mereka bergumul dalam laboratorium dan mahasiswa S2 dan S3 waktunya banyak habis di laboratorium untuk penelitian. Yang meluluskan mahasiswa uniknya bukan Fakultas atau Universitas, namun profesor itu tadi,” tukas Dosen Pascasarjana IAIN Jember tersebut.
Karenanya ada banyak lagi hal yang perguruan tinggi di Indonesia perlu belajar di sini.
“Misalnya, mereka yang S2 sejak semester satu, sudah dibimbing profesor. Jadi betul-betul diarahkan. Mereka kuliahnya langsung ke laboratorium dalam bimbingan seorang profesor. Kuliah di kelas-kelas besar seperti laiknya di Indonesia, kalau di Taiwan tidak laku. Selain itu, laboratorium Profesor tadi langsung bekerjasama dengan perusahaan atau industri sehingga berkembang dengan pesat,” papar Kiai Harisudin. ABPTSI sendiri merupakan organisasi atau badan penyelenggara perguruan tinggi. ABPTSI adalah asosiasi tempat perhimpunan para owner seluruh perguruan tinggi swasta di Indonesia. Perhimpunan ini sudah berdiri sejak tahun 2003 dan telah berhasil mengusulkan beberapa hal penting dalam dunia perguruan tinggi, misalnya pencabutan UU Badan Hukum Pendidikan tahun 2009 melalui judicial review di MK, umur dosen yang ber-NIDN minimal 58 tahun dari yang sebelumnya hanya 50 tahun, dan kebijakan lain yang memihak perguruan tinggi swasta. ABPTSI saat ini dipimpin oleh Thomas Suyatno, seorang profesor di Universitas Atmajaya Jakarta. (Shohibul Ulum/Kendi Setiawan)