Oleh: Dr. M.N. Harisudin M. Fil. I
Dosen Pascasarjana IAIN Jember
Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember
Katib Syuriyah PCNU Jember
17 mei
Secara derivatif, terma Fikih Nusantara yang saya ajukan adalah bagian dari gagasan besar Islam Nusantara. Islam Nusantara, meski baru digemakan dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33, pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang Jawa Timur, namun secara subtansi sesungguhnya sudah didiskusikan sejak lama. Bahkan, sebagai praksis umat, Islam Nusantara sesungguhnya sudah sejak lama juga menjadi bagian dalam kehidupan umat Islam di Indonesia ratusan tahun yang silam. Islam Nusantara telah menjadi casing umat Islam Indonesia yang memiliki karakter khusus, yaitu Islam yang inklusif, toleran dan juga moderat. Islam Nusantara ini pula yang menjadi magnet bagi umat Islam di seluruh dunia.
Saya ingin mengajak pembaca pada dunia yang lebih kecil dalam Islam Nusantara, dengan apa yang saya sebut sebagai “Fikih Nusantara”. Fikih Nusantara adalah fikih yang dipraktekkan di nusantara, sesuai dengan keadaan realitas nusantara. Adalah Prof Hasbi as-Shidiqi, Guru Besar Hukum Islam IAIN Yogyakarta (sekarang bernama UIN Yogyakarta) yang menyebut pertama kali dengan Fikih Indonesia. Gagasan Hasbi as-Shidiqi dilatari oleh kejumudan fiqh di tahun 1940 yang dirasa tidak bisa memberikan solusi-solusi atas berbagai problematika umat. Meski tidak direspon dengan baik, namun gagasan Hasbi inilah yang dicatat sejarah sebagai tonggak permulaan tentang fikih Nusantara.
Gagasan Hasbi sendiri, dari aspek content, hemat saya, sebetulnya, tidak luar biasa karena pembaruan fiqh Indonesia yang ia tawarkan, sejatinya hanya dalam ruang lingkup mu’amalah. Hasbi tidak berani secara progresif melakukan pembaruan terhadap bidang “ibadah mahdlah” seperti haji, sholat, besaran zakat, puasa dan sebagainya. Pada tahun 1961, Hasbi kembali mengungkapkan gagasan tentang Fikih Indonesia dan baru mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. Tentu, yang luar biasa adalah keberanian Hasbi menyodorkan gagasan Fiqh Indonesia yang dipandang tabu saat itu.
Pada etape selanjutnya, pengaruh pikiran Hasbi sungguh luar biasa. Hukum Islam yang sudah lama “dipinggirkan” mulai untuk ditempatkan ditempat yang terhormat. Semula, dalam tata hukum nasional kita, hukum Islam berada menjadi bagian dari hukum adat, namun setelah ada pikiran Hasbi dan lalu diteruskan oleh pembaharu selanjutnya, Hazairin, menjadikan hukum Islam menjadi elemen yang mandiri dalam hukum nasional. Hukum nasional menjadi terpola dengan tiga elemen penting: hukum Eropa, hukum adat dan hukum Islam. Pada masa orde reformasi, semakin banyak hukum Islam yang menajdi qanun (positif laws) di negara ini seperti Kompilasi Hukum Islam (1991), UU tentang zakat (1999 direvisi 2011), UU tentang Wakaf (2004), UU Perbankan Syari’ah (2008) dan lain sebagainya.
Saya ingin menggaris bawahi bahwa Fikih Indonesia yang ditawarkan Hasbi As-Shiddiqi berdampak sosial sangat luas. Bagaimanapun juga, gagasan Hasbi as-Shidiqi telah menjadi batu bata pertama fikih Nusantara di negeri ini. Hasbi memang membayangkan Fiqh Nusantara seperti Fikih Hijazi, Fikih Hindi dan Fikih Mishri. Dan kini, tejadi percepatan luar biasa atas fikih Nusantara di negeri ini. Fikih Nusantara setidaknya telah mewujud dalam dua bentuk penting sekaligus: living laws (hukum yang hidup) dan positif laws (hukum positif). Keduanya adalah bagian dan kekayaan dari khazanah fikih Nusantara.
Sebagai living laws, fikih Nusantara dapat kita simak bersama dalam musyawarah kitab di pesantren, halaqah Bahsul Masail NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Dewan Hisbah Persis, Fatwa MUI dan sebagainya, yang kesemuanya menjadi acuan referensi fatwa bagi umat. Sementara itu, sebagai positif laws, kita melihat Fikih Nusantara yang terbakukan dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah dan bersifat mengikat bagi seluruh umat Islam. Dalam hukum yang positif laws ini, berlaku kaidah fikih: hukmu al-hakim yulzimu wa yarfaul khilafa. Keputusan hakim bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat.
Fikih Nusantara ini secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan karena ditopang minimal oleh tiga dalil utama, yaitu istihsan, maslahah mursalah dan ‘urf. Jika istihsan adalah menganggap baik apa yang dianggap baik oleh mayoritas muslim, dan maslahah mursalah merupakan maslahah yang tidak diperintah maupun dilarang langsung oleh syara’, namun mengandung dimensi kemanfaatan yang nyata dan bersifat luas, sementara ‘urf adalah tradisi yang telah berurat akar dalam masyarakat luas. Ketiga dalil ini, memperkokoh basis epistemologis Fikih Nusantara, menjadi fiqh yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Dari aspek produk, ulama Nusantara juga telah banyak memproduksi Fikih Nusantara. Misalnya, tradisi Halal bi Halal yang hanya ada di Indonesia. Ghalibnya, di berbagai Negara Timur Tengah, yang ramai adalah hari raya Idul Adha. Namun, di Indonesia, justru yang sangat ramai adalah Idul Fitri yang selanjutnya diteruskan dengan acara Hari Raya Ketupat dan juga acara Halal bi Halal. Para ulama Nusantara juga menunjukkan kreasi “ukuran aurat” dengan tidak menggunakan hijab ‘ala Timur Tengah. Ini dibuktikan dengan baju muslimah Nusantara para Ibu Nyai tokoh-tokoh besar Islam seperti istri KH. Hasyim Asy’ari, istri KH. Ahmad Dahlan, istri Buya Hamka, istri H. Agus Salim dan lain sebagainya. Baju muslimah Nusantara kini dapat kita lihat pada Ibu Shinta Nuriyah Wahid, istri alm. KH. Abdurrahman Wajid, Presiden RI yang keempat.
Produk lain Fikih Nusantara yang bahkan telah ditetapkan sebagai qanun dalam Kompilasi Hukum Islam adalah harta gono-gini. Harta gono -gini merupakan harta bersama suami-istri setelah menikah. Dalam KHI disebutkan bahwa, harta waris akan dibagi setelah harta gono-gini suami istri dibagi berdua. Jika seorang suami meninggal misalnya dengan uang 100 juta, maka dibagi untuk istri 50 juta dan suami 50 juta. Uang 50 juta suami inilah yang dibagi pada para ahli waris. Model Fikih Nusantara dalam harta gono-gini seperti ini merupakan lompatan yang luar biasa dibanding dengan Fikih Konvensional yang ada dan dipraktekkan di banyak negara Islam, terutama Timur Tengah.
Walhasil, Fikih Nusantara adalah fiqh yang telah built-in dan mengakar dalam kehidupan Muslim nusantara. Fikih ini akan terus tanpa henti melakukan “perubahan” sesuai dengan tuntutan zaman sebagaimana kaidah Fikih: Taghayyurul ahkam bi taghayuril azminati wal amkinati. Perubahan hukum bergantung pada perubahan zaman dan tempat. Jika realitas-realitas berubah, maka hukum akan menyesuaikan dengan perubahan realitas tersebut. Hanya saja, perubahan dimaksud adalah perubahan pada selain “ibadah mahdlah”. Karena pada dimensi ibadah mahdlah ini, sudah harga mati, tidak bisa diotak-atik dan bersifat sepanjang masa.
Wallahu’alam. **