Negara Indonesia yang “belum” Final


oleh M. Noor Harisudin

Dosen IAIN Raden Paku Jember

Pengasuh Ponpes Ar-Riayah Mangli Kaliwates Jember

Wakil Ketua PW Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Secara konsep, Indonesia sudah final. Namun, secara praktek, Indonesia masih belum (dan jauh dari) final. Dalam proses pencapaian cita-cita dan tujuan negara Indonesia yang final, aral dan hambatan senantiasa melintang. Cita-cita juga tidak bisa seratus persen digapai. Last but not least, cita-cita ini memang suatu saat nanti akan terwujud, kendati yang kita lihat baru berapa persennya saja. Yang kita lakukan secara kolektif tanpa melihat ras, agama dan aliran adalah melakukan ikhtiar sekuat mungkin dan yang terbaik untuk mencapai cita-cita tersebut.

Belakangan marak gerakan yang ingin mengubah haluan negara Indonesia yang kita cintai ini. Mereka ingin mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini dengan sistem khilafah. Khilafah, dalam imaginasi mereka, adalah solusi atas semua problematika kehidupan. Sebagian yang lain mengusung perda syari’at Islam sebagai panacea atas pelbagai problematika hidup yang kian kompleks dan akut. Sebagian yang lain ingin menggantinya dengan kembali pada ideologi komunisme. Di sinilah, tulisan ini serasa menemukan momentumnya.

Memang, sebagian pemikir Islam memilih untuk tidak mengkaitkan agama (Islam) dengan negara. Agama dalam pandangan ini adalah adalah satu hal, sementara negara adalah hal lain yang berbeda. Seperti Nawal el Saadawi, seorang sastrawan besar di Mesir yang pernah melontarkan kritik keras terhadap apa yang disebut Negara Islam. Menurutnya, negara tidak punya jenis kelamin agama (baca: tidak beragama) karena yang beragama adalah manusia. Dalam hal ini, Nawal el Saadawi menyatakan: “ People who think that state is Islam have not studied Islam. The state is nothing to do with Islam”. (The Jakarta Post, November, 27, 2006).

Namun, saya tidak sepenuhnya sepakat dengan Nawal El Saadawi karena secara de facto masyarakat Islam sudah bersinggungan dengan politik Islam sejak masa Rasulullah Saw. hingga masa sekarang. Tak mengherankan jika Montgomory Watt dalam buku Muhammad Prophet and Statesman mengatakan bahwa Muhammad bukan hanya seorang nabi, namun juga seorang kepala Negara (negarawan). (W. Montgomery Watt: 1961, 94-95). Di samping itu juga, jika kita tengok ke belakang, kala Muhammad menjadi kepala negara, semua unsur negara modern sudah terpenuhi seperti wilayah, penduduk, pemerintahan dan juga kedaulatan.

Di sinilah, makanya saya lebih senang menggunakan perspektif paradigma simbiotik (symbiotic paradigm). Dalam paradigma ini, posisi agama dan negara berhubungan secara simbiotik yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara karena dengan negara (daulah), agama dapat berkembang. Demikian sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spritualnya. Sehingga, dalam paradigma ini, baik agama dan negara saling menguatkan dan mengukuhkan.

Paradigma ini senada dengan pandangan Gus Dur yang menyebut agama sebagai ruh atau spirit yang harus masuk ke dalam negara. Sementara, bagi mantan Presiden RI ke-4 tersebut, negara adalah badan atau raga yang mesti membutuhkan negara. Dalam konsep Gus Dur, keberadaan negara tidak bisa dilihat semata-mata hasil kontrak sosial (yang sekuler), namun, bahwa negara dipandang sebagai jasad yang membutuhkan idealisme ketuhanan. Agama, dalam konteks ini, lebih ditempatkan sebagai subtansi untuk menuju cita-cita keadilan semesta. (Masdar F. Mas’udi: 1993, xiv-xvi).

Pilihan paradigma di atas jelas menegasikan dua paradigma lain yang berada di kutub ekstrem. Pertama, paradigma integralistik yang memandang agama dan negara menyatu. Wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara selain lembaga politik juga lembaga keagamaan. Pandangan yang sering disebut dengan istilah al-Islam din wa daulah ini dipraktekkan oleh Syi’ah. Kedua, di ekstrem yang lain, paradigm sekuler yang mengajukan pemisahan agama dan negara. Paradigma yang dimotori oleh Ali Abd ar-Raziq ini (1887-1966 M) menolak pendasaran negara pada agama (Islam). Pemikiran paradigma ini didasarkan asumsi bahwa Muhammad murni sebagai pendakwah Islam dan sama sekali tidak pernah menjadi kepala Negara.

Bertolak dari paradigma yang saya ajukan di atas ini, maka jika ditanya: apakah cita-cita Politik Islam, saya mengatakan bahwa cita-cita politik Islam adalah sama dengan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Cita-cita Indonesia merdeka adalah, seperti kata Soekarno, menjadi “jembatan emas” untuk mencapai cita-cita negara Indonesia. Adapun cita-cita negara ini, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, adalah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia akan tercapai. Pada tahap selanjutnya, cita-cita tersebut diderivasikan lebih lanjut dalam batang tubuh UUD 45, seperti kesamaan di depan hukum, kebebasan berserikat dan berpolitik, serta mengenai kesejahteraan sosial seperti tanggung jawab negara terhadap rakyat miskin, serta mengenai demokrasi ekonomi.

Secara normatif, cita-cita kemerdekaan ini sejalan dengan cita-cita politik Islam. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyah misalnya menyebut tujuan sebuah negara adalah lihiraasatiddin wa siyasatid dunya. (Abu Hasan Al-Mawardi: tt, 6). Artinya, untuk memelihara agama dan mengatur dunia. Secara derivatif, pandangan ini dikukuhkan oleh Imam Al-Ghazali yang dikutip Abu Zahro yang menyebut ad-dlariyatul khams sebagai pilar yang mesti diacu oleh sebuah Negara. Yakni., memelihara agama (hifdz ad-din), memelihara jiwa (hifdz an-nafs), memelihara akal (hifd al-aql), memelihara keturunan (hifdz an-nasl) dan memelihara harta (hifdz al-mal). (Muhammad Abu Zahro: 1994, 548-553)

Kekuasaan negara, oleh karena itu, dikukuhkan untuk pemenuhan lima hal pokok yang dijaga dalam Islam ini. Sebut misalnya keberpihakan pada kaum miskin (mustadz’afin) dalam bentuk pelayanan kesehatan di negeri ini harus dilihat dalam perspektif hifdz an-nafs (memelihara jiwa). Demikian juga pengutamaan anak bangsa dalam urusan kesejahteraan dibanding negeri asing ketika menentukan mana yang lebih penting: perusahaan anak negeri atau perusahaan asing yang mesti mengelola, harus dilihat dalam konteks hifdz al-mal warga negara Indonesia.

Hanya saja, secara realitas, apa yang dicita-citakan masih jauh dari kenyataan. Alih-alih menuju cita-cita kemerdekaan ini, kadang kala cita ini dibelokkan ke arah yang bertolak belakang dengan cita-cita kemerdekaan. Neo-liberalisme yang menggurita, korupsi yang meraja lela, pemenuhan hak orang miskin yang terabaikan, dan segudang masalah lain, adalah bentuk anti klimaks cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Sudah semestinya energi bangasa ini kita fokuskan untuk menggapai cita-cita itu, bukan malah mengganti ideologi NKRI dengan sistem khilafah dan atau komunisme.

Dengan kata lain, secara konsep, Indonesia sudah final. Namun, secara praktek, Indonesia masih belum (dan jauh dari) final. Dalam proses pencapaian cita-cita dan tujuan negara Indonesia yang final, aral dan hambatan senantiasa melintang. Cita-cita juga tidak bisa seratus persen digapai. Last but not least, cita-cita ini memang suatu saat nanti akan terwujud, kendati yang kita lihat baru berapa persennya saja. Yang kita lakukan secara kolektif tanpa melihat ras, agama dan aliran adalah melakukan ikhtiar sekuat mungkin dan yang terbaik untuk mencapai cita-cita tersebut.

Di sinilah, kita bisa menengok prinsip dasar yang digunakan dalam mencapai cita-cita tersebut sebagai pedoman dalam pengelolaan pemerintah yang bersih dan berwibawa, sebagaimana berikut:

Pertama, tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manutun bil maslahah al-ammah. Kebijakan penguasa atas rakyat didasarkan pada kemaslahatan umum. Penguasa harus mengutamakan rakyat umum, bukan segelintir orang, golongan atau kelompok kepentingan tertentu. Rakyat adalah segalanya. Fox populi fox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan yang harus didengar dan diwujudkan dalam kehidupan keseharian. Mewujudkan cita-cita rakyat umum adalah sama dengan mewujudkan keinginan Tuhan dalam kehidupan.

Kedua, prinsip dar’ul mafasid ‘ala jalbil mashalih. Artinya, mendahulukan menghindari bahaya daripada melaksanakan kemaslahatan. Penguasa mesti mengupayakan tindakan preventif menghindari bahaya terlebih dahulu dan baru kemudian melaksanakan program yang berbasis kemaslahatan. Prinsip ini bertalian dengan prinsip lain yang berbunyi idza ta’aradla mafsadataani ru’iya a’dlamuha dlararan birtikabi akhaffihima. Apabila terjadi dua bahaya, maka dipertimbangkan bahaya yang paling besar resikonya dengan melaksanakan yang paling ringan resikonya.

Dan Ketiga, prinsip mala yudraku kulluhu la yudraku kulluhu. Maksudnya, kewajiban yang tidak mungkin diwujudkan secara utuh tidak boleh ditinggalkan semuanya. Kita harus menyadari bahwa upaya yang kita lakukan bisa diperoleh secara bertahap dan tidak sekaligus. Apa yang sudah kita capai harus kita syukuri sembari terus melakukan evaluasi untuk senantiasa melakukan perbaikan dan perbaikan. Saya tidak sepakat dengan pernyataan politik beberapa plotisi dan pengamat di beberapa media yang selalu menyudutkan dan (selalu) menyalahkan Indonesia.

Bagaimanapun, untuk mencapai cita-cita Indonesia, tidak mudah semudah membalik telapak tangan. Memperbaiki negeri ini tidak bisa dengan cara hanya mengkritik dan apalagi mencaci maki pengelola negeri ini. Kita harus memulai agenda besar mencapai cita-cita Indonesia ini dengan “bangga menjadi Indonesia”. Indonesia laksana rumah besar bersama kita. Kalau ada yang rusak dan bocor misalnya, mesti kita perbaiki bersama. Dan tentunya, kita tidak perlu merobohkan rumah Indonesia yang kita cintai ini. Selain itu, kita harus melakukan upaya cita-cita kemerdekaan ini secara massif dan progresif di tempat dimana kita berada dan lalu bersinergi satu dengan yang lain dengan tanpa mengabaikan kemajemukan bangsa ini. 

Semoga. ***

Bagikan :

Facebook
WhatsApp
Telegram

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Postingan Terkait

Peningkatan Kualitas, Lembaga Wakaf Darul Hikam Undang Wakil Direktur LAZISNU PBNU

Jember, 12 Desember 2024 Meski telah banyak menorehkan prestasi di tahun ini, Lembaga Wakaf Darul Hikam tidak pernah berpuas diri. Termasuk dengan ilmu-ilmu yang diperoleh dari berbagai lembaga filantropi yang besar seperti Dompet Dluafa Republika dan Yayasan Dana Sosial al-Falah. Kini, Lembaga Wakaf Darul Hikam mengundang Wakil Direktur Bidang Fundraising, Humas dan IT NU Care-LAZISNU PBNU,  Anik Rifqof, pada Kamis, 12 Desember 2024 jam 10.00 sd 11.30. Acara dihadiri seluruh Pegawai Lembaga Wakaf Darul Hikam dan juga Lembaga Amil Zakat AZKA Al Baitul Amin Jember. Acara ini dikemas dalam Diskusi “Strategi Penghimpunan dan Kemitraan ZISWAF”. Prof. KH. M. Noor Harisudin dalam sambutannya mengatakan pentingnya terus update ilmu dan praktik filantropi “Sebagai lembaga wakaf, kita harus berkembang. Perolehan kita sudah banyak. Namun, kita masih belum apa-apa disbanding mereka yang telah lebih dulu berkonstribusi untuk Indonesia. Seperti Lazisnu PBNU,” ujar Direktur Lembaga Wakaf Darul Hikam, Prof. Dr.  HM. Noor Harisudin, S.Ag, SH, M.Fil.I, CLA, CWC. Anik Rifqoh, Wakil Direktur Lazisnu PBNU mengapresiasi lembaga filantropi seperti Darul Hikam dengan berbagai program inovatifnya. “Ini programnya keren dan inovatif. Juga belum dilakukan oleh banyak lembaga filantropi. Saya kira, tinggal bagaimana mengembangkan ke depan”, ujar Anik Rifqoh yang pengalaman di berbagai lembaga filantropi. Anik Rifqoh menyampaikan data-data menarik. Misalnya bahwa di era digital, anak-anak muda lebih senang berwakaf. Berdasarkan data Forum Wakaf Produktif, jumlah orang yang wakaf adalah 48 % orang berusia 24 sampai  35 tahun, 35 persen umur 35-55 tahun, dan 11 persen berusia 55 tahun. “Indonesia hingga saat ini adalah negara paling dermawan dunia. Jika melihat data Forum Wakaf Produktif, maka sesungguhnya masih banyak peluang besar untuk pengembangan wakaf ke depan”, ujarnya. Baik wakaf maupun zakat, lanjut Anik, dalam manajemennya sesungguhnya tidak jauh beda. “Kini untuk memperkuat zakat maupun wakaf, ada nadzir dan amil zakat yang harus tersertifikasi oleh BNSP. Makanya, lembaga wakaf harus punya ini sehingga menambah trust pada lembaga filantropi kita,” tukas Wakil Direktur Bidang Fundraising, Humas dan IT NU Care-LAZISNU PBNU. Dalam hal fundrising, Anik Rifqoh menekankan pentingnya inovasi program lembaga. Selain itu, harus dibangun trust dengan banyak hal. Misalnya legalitas lembaga dengan telah mendapat mendapat SK dari Badan Wakaf Indonesia dan Baznas. “Selain itu, tentu program dijalankan dengan amanah, transparan dan profesional, menjadikan lembaga kita akan selalu dilihat oleh masyarakat luas dan tentunya berdampak pada masyarakat luar,” tuturnya.   Di akhir, Anik Rifqoh memberi masukan agar dibedakan manajemen dan website wakaf dengan zakat. “Ke depan, saya kira, harus dibedakan antara zakat dan wakaf. Insyaallah, akan berkembang dengan pesat Lembaga Wakaf Darul Hikam”, ujarnya. Reporter : Wildan Rofikil Anwar Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Menagih ‘Janji Damai’ Timur Tengah Donald Trump

Bagaimana masa depan Timur Tengah pascakemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS pada 5 November 2024 ini?  Mengapa pertanyaan ini urgen adalah mengingat Donald Trump telah berjanji untuk mendamaikan Timur Tengah dalam kampanyenya. Presiden AS dengan umur tujuh puluh delapan tahun ini  mengatakan “During my administration, we had peace in the Middle East, and we will have peace again very soon! I will fix the problems caused by Kamala Harris and Joe Biden and stop the suffering and destruction in Lebanon. I want to see the Middle East return to real peace, a lasting peace, and we will get it done properly so it doesn’t repeat itself every 5 or 10 years!” Sebagaimana maklum, Donald Trump (Partai Republik) telah memenangi Pilpres AS mengalahkan kompetitornya, Kamala Harris (Partai Demokrat), Jill Stein, (Partai Hijau) dan Chase Oliver (Partai Libertarian).  Donald Trump terpilih menjadi presiden ke-47 Amerika Serikat pada Rabu, 6/11/2024 (Harian Kompas). Donald Trump meraup 295 suara elektoral melebihi dari minimal suara elektroal yang mencapai 270 suara. Kemenangan Trump dalam Pilpres AS 2024 terjadi saat Timur Tengah bergejolak setelah pecah perang Israel-Hamas, Israel Hizbullah dan saling menyerang antara Israel dan Iran.      Salah satu elemen yang menyumbang besar suara Donald Trum adalah Muslim dan komunitas Arab di Michigan yang juga menjadi kunci pemenangan Trump dalam Pilpres AS tahun 2024 ini. Di negara bagian Michigan, Donald Trump memenangkan 15 suara elektoral. Kamala Harris diduga kuat dikalahkan oleh Trump karena dukungannya yang tanpa reserve pada Israel. Selain berharap Donald Trump dapat membawa kebaikan pada komunitas mereka, Presiden AS terbaru ini diharapkan dapat menciptakan perdamaian yang lebih baik pada Israel, Palestina dan Timur Tengah.    Meski baru akan dilantik Januari 2025, publik bisa mulai menagih janji damai Timur Tengah Donald Trump. Pernyataan Donald Trump di atas misalnya menegaskan posisinya untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Donald Trump secara khusus menyebut Lebanon dengan harapan perdamaian terjadi di negeri ini. Meski melihat jejak Donald Trump, kita akan pesimis dengan perdamaian di Timur Tengah dan Palestina.     Proksi Iran dan Kebijakan Donald Trump Proksi-proksi Iran adalah hal urgen lain yang menentukan perdamaian Timur Tengah di masa kini dan masa yang akan datang. Proksi Iran, adalah Hamas di Palestina, Hizbullah di Lebanon, Hizbullah di Irak, Houti di Yaman, Irak dan Suriah serta beberapa negara lain. Proksi Iran telah menjadi “satu frekuensi” yang menentukan perlawanan terhadap Israel. Sebaliknya, Israel juga tegas terhadap seluruh proksi Iran yang menghalangi keinginan Israel untuk ‘menguasai’ penuh Palestina.   Mesir dan Yordania,–dua negara yang bukan merupakan proksi Iran–, akan aman-aman saja karena tidak menjadi target perang Israel. Bahkan, kedua negara tetangga ini juga memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Sebaliknya, dua negara ini juga ‘tidak memberikan dukungan’ signifikan pada kemerdekaan Palestina sebagaimana umumnya negara Muslim dunia yang lain. Ini adalah implikasi hubungan diplomatik dengan Israel.      Jika Donald Trump bersikap baik pada Lebanon, maka tidak demikian halnya dengan Iran dan proksi Iran yang lain. Donald Trump memiliki citra buruk di Iran dengan kebijakannya yang tidak mendukung Iran. Sejak tahun 1979, Iran telah memiliki hubungan yang kurang harmonis pada Amerika Serikat. Puncak hubungan tidak harmonis ini ada pada masa Donald Trump (2016-2020), dimana dia menjadi presiden yang paling vokal menentang kebijakan pengembangan nuklir Iran. Bahkan, pada tahun 2018, Donald Trump menarik dari kesepakatan perjanjian pengembangan nuklir dengan Iran. Jika melihat ini, maka tipis harapan Donald Trump akan menjadi solusi bagi perdamaian Timur Tengah untuk tidak mengatakan sebagai sebuah keajaiban. Lalu apa komitmen dan langkah yang akan dilakukan Donald Trump untuk mewujudkan damai di Timur Tengah?      Donald Trump dan Masa Depan Palestina  Ketika kemenangan Pilpres AS berada di tangan Donald Trump, maka kebijakan AS akan tetap berpihak pada Israel. Kebijakan yang tidak akan jauh dari Joe Biden, presiden AS periode 2020-2024 untuk mendukung Israel. Kita masih ingat, bagaimana Donald Trump pernah menyetujui kebijakan memindahkan ibukota Israel dari Tel Avif ke Jerussalem di periode awalnya sebagai presiden 2016-2024 yang silam. Jejak rekam Donald Trump yang tidak pro-Palestina juga terlihat dari suara vokalnya mengecam kelompok Hamas Palestina yang melakukan serangan militer Israel pada 7 Oktober 2023. Donald Trump juga terkesan biasa-biasa saja dan tidak berempati dengan lebih dari 43.000 warga Palestina yang tewas dalam medan perang.   Hanya saja, Donald Trump akan memfokuskan pada pembenahan ekonomi dalam negeri dan meminimalkan peran AS di luar negeri ini. Fokus ini pula yang menjadikan mayoritas rakyat Amerika Serikat memilih Donald Trump pada Pilpres sekarang ini. Sebaliknya, rendahnya agenda pemulihan ekonomi rakyat Amerika Serikat menjadikan Kemala Haris tidak populis dan akhirnya mendapatkan dukungan minimalis dari rakyat negeri Paman Sam tersebut yang berakhir dengan kekalahannya dalam Pilpres tahun imi.   Namun, bukan berarti tidak ada peluang sedikitpun dari Donald Trump. Presiden Palestina, Mahmud Abas memandang Donald Trump sebagai presiden AS yang akan mengakui negara Palestina. Selain itu, menurut Mahmud Abas, Donald Trump akan bekerja sama dengan Palestina untuk menciptakan perdamaian di Palestina. Donald Trump, bagi Mahmud Abas, akan berupaya untuk menghentikan perang dan bersiap bekerja sama dengan Presiden Abbas serta pihak-pihak terkait di kawasan dan dunia untuk menciptakan perdamaian. Lebih dari itu, Donald Trump akan mendukung aspirasi sah Palestina sebagai sebuah negara.   Hanya saja tunggu dulu; jangan terlalu banyak berharap dengan Donald Trump dengan kebijakan abu-abunya, baik  di Palestina maupun negara Timur Tengah yang lain. Oleh karena itu, masyarakat dunia tetap harus bergerak secara mandiri menciptakan perdamaian di Timur Tengah dan kemerdekaan Palestina. Misalnya mengotiptimalkan peran negara-negara yang sebelumnya terus gigih memperjuangkan kemerdekaan Palestina seperti Indonesia, Afrika Selatan, Malaysia,  Turki dan negara lain dunia. Dewan Tetap Keamaan PBB harus direformasi agar AS tidak selalu menggunakan Hak Veto untuk mendukung Israel dan abai terhadap 143 negara terhadap usulan kemerdekaan Palestina.  Walhasil, jalan panjang nan terjal masih terus akan dilalui, namun ikhtiar perjuangan bersama tetap akan dilakukan untuk mewujudkan perdamaian dan kemanusiaan universal.  Wallahu’alam.  Sumber: https://arina.id/perspektif/ar-2bLkV/menagih–janji-damai–timur-tengah-donald-trump

Hukum Mengonsumsi Makanan Tanpa Label Halal

Pertanyaan: Assalamualaikum wr wb. Kak, bagaimana hukum mengonsumsi makanan tanpa label halal menurut fiqh Syafi’i? (Adila Anis). Jawaban: Waalaikumus salam Wr. Wb. Terima kasih kami sampaikan kepada saudari penanya yang telah berkenan menanyakan permasalahan ini kepada NU Online. Penanya dan pembaca setia NU Online yang budiman semoga kita semua diberi kemudahan dan kelancaran dalam segala aktivitasnya.  Di Indonesia, terdapat beberapa institusi yang mempunyai otoritas menerbitkan label halal. Label Halal ini tidak dipungkiri memiliki fungsi penting bagi masyarakat, terutama umat Islam sebagai jaminan dan panduan dalam memastikan kehalalan suatu produk mulai dari bahan baku, proses produksi, pengolahan sampai menjadi barang produksi yang siap dikonsumsi. Dengan demikian konsumen akan merasa tenang dan yakin dengan apa yang ia konsumsi.  Namun demikian, dalam syariat Islam kehalalan suatu makanan penentu utamanya bukan Label Halal, melainkan ketetapan dari Allah (syari’) berdasarkan dalil syariat. Label halal ini sifatnya hanya administratif dan penguat saja. Sehingga makanan yang asalnya halal tanpa adanya Label Halal pun hukumnya tetap halal dikonsumsi.  Dalam pandangan Madzhab Syafi’i hukum asalnya segala sesuatu adalah diperbolehkan hingga terdapat dalil yang menyatakan keharamannya. Imam As-Suyuthi dalam al-Asybah wan Nadhair Jilid I (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1403: 60) mengatakan:  Artinya, “Hukum asal segala sesuatu adalah boleh hingga terdapat dalil yang menunjukkan keharamannya.” Menurut beliau, kaidah tersebut ditopang oleh beberapa hadits, di antaranya dua hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani sebagai berikut: Artinya, “Apa yang Allah halalkan maka ia halal (hukumnya) dan apa yang Allah haramkan maka ia haram (hukumnya) dan apa yang Allah diamkan maka ia dimaafkan, maka terimalah maaf-Nya karena Allah tidak pernah melupakan sesuatu apapun.” (HR. Al-Bazzar dan Thabrani) Artinya, “Sesungguhnya Allah sudah mewajibkan perkara yang wajib maka janganlah kalian menyia-nyiakannya, dan Allah sudah membatasi sesuatu maka janganlah kalian melampauinya, dan Allah mendiamkan sesuatu bukan karena lupa karenanya janganlah kalian sibuk mencari-cari (hukumnya).” Dalam redaksi lain dijelaskan, “Dan Allah mendiamkan sesuatu bukan karena lupa, maka janganlah kalian membebani diri kalian dengan perkara tersebut. Itu adalah bentuk rahmat untuk kalian, maka terimalah (rahmat itu).” (HR. Thabrani).  Penjelasan di atas menegaskan bahwa hukum halal dan haram segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak memiliki dalil yang jelas terkait kehalalan dan keharamanannya, maka hukumnya diperbolehkan. Kaidah ini berlaku umum baik berkaitan dengan perbuatan, benda, hewan, makanan, minuman, tumbuhan dan selainnya. Berkaitan dengan hal ini Syekh Abdul Wahab Khalaf menjelaskan: Artinya:, “Apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum suatu hewan, benda mati, tumbuhan, makanan, minuman, atau suatu pekerjaan, lalu ia tidak menemukan dalil syar’i yang menetapkan hukumnya, maka ia menetapkan bahwa hukumnya adalah mubah (boleh). Sebab, asal hukum segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjukkan perubahan hukum tersebut.” “Adapun asal hukum segala sesuatu adalah mubah, karena Allah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia: ‘Dialah yang menciptakan untuk kalian apa yang ada di bumi semuanya’ (QS. Al-Baqarah: 29). Allah juga menegaskan dalam beberapa ayat bahwa Dia telah menundukkan untuk manusia apa yang ada di langit dan di bumi. Segala sesuatu yang ada di bumi tidak mungkin diciptakan untuk manusia dan ditundukkan bagi mereka kecuali jika itu mubah bagi mereka. Sebab, jika sesuatu itu diharamkan atas mereka, maka tidak mungkin itu disebut sebagai diciptakan dan ditundukkan untuk mereka.” (Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, [Kairo, Maktabah ad-Da’wah Syababul Azhar: t.t] halaman 91-92).  Syekh Bakri Syatha menjelaskan bahwa segala sesuatu yang hukum asalnya telah ditetapkan kehalalan, keharaman, kesucian atau kenajisannya maka hukumnya tidak akan pernah berubah kecuali dilandasi dengan keyakinan bahwa sesuatu tersebut mengalami perubahan. Beliau menyebut dalam I’anatuth Thalibin Jilid I (Beirut, Darul Fikr, t.t.: 125): Artinya, “Apabila asal hukum telah ditetapkan dalam kehalalan atau keharaman, atau kesucian atau kenajisannya, maka hukum itu tidak akan berubah kecuali dengan keyakinan. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki wadah berisi air, cuka, susu dari hewan yang halal dimakan, atau minyaknya, lalu ia ragu apakah wadah itu terkena najis atau tidak, atau wadah yang berisi air perasan anggur dan ragu apakah sudah berubah menjadi khamar atau belum, maka tidak haram untuk mengonsumsinya.”  Dari paparan penjelasan di atas menjadi jelas bahwa makanan yang secara hukum asalnya halal dan tidak diketahui secara pasti dan meyakinkan terdapat bahan yang haram atau najis dalam proses pengolahannya maka hukumnya halal dikonsumsi meskipun tanpa label halal. Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik. Wallahu a’lam Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-mengonsumsi-makanan-tanpa-label-halal-7DIcR

Berikan Kuliah Umum di STQK Depok, Prof Haris Dorong Mahasiswa Jadi Pejabat Publik

Depok – Islam sudah sempurna sejak masa Rasulullah SAW, dan agama ini tetap relevan hingga kini, bahkan di tengah perkembangan zaman yang pesat. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin, S.Ag., S.H., M.Fil.I., CLA., CWC., dalam Kuliah Umum bertema ‘Islam dan Tantangan Beragama di Dunia’, yang digelar oleh Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an (STKQ) di Aula Masjid Depok, Kamis malam (28/11/2024). Turut hadir Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Depok, KH. M. Yusron Shidqi, Lc., M.A., Ketua Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an (STKQ) Al Hikam, Depok, Dr. Subur Wijaya, M.Pd.I. Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Nasional (IAI) Laa Roiba Bogor, KH. Moh. Romli, M.Pd.I serta ratusan mahasiswa dan mahasantri Al Hikam Depok. Prof. Haris menjelaskan bahwa Islam, sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, merupakan wadlun ilahiyun yang menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Islam terdiri dari tiga unsur utama: tauhid, syariat, dan tasawuf atau akhlak. Ketiga unsur ini, menurutnya, merupakan pondasi utama yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam. “Tauhid adalah keyakinan pada Allah, syariat adalah hukum Islam yang konkret, dan akhlak adalah perilaku muslim yang mendarah daging, yang dilakukan secara reflektif,” ungkap Prof. Haris yang juga Wakil Sekretaris PWNU Jawa Timur. Ia kemudian mengajak untuk merenung, apakah Islam benar-benar rahmatan lil alamin, yakni kasih sayang bagi seluruh umat manusia. Prof. Haris menyoroti tantangan yang muncul setelah wafatnya Rasulullah SAW, termasuk perkembangan teknologi dan situasi sosial yang tidak ada di masa beliau, seperti internet dan telekomunikasi. Untuk itu, ia menegaskan bahwa kontekstualisasi Islam sangat penting agar ajaran Islam tetap relevan dan dapat diterapkan dalam setiap keadaan. “Islam tidak hanya dapat dipahami secara tekstual, tetapi juga harus mampu diadaptasi dengan situasi zaman yang terus berkembang, seperti melalui ijtihad,” jelas Kiai kelahiran Demak itu. Menurut Prof. Haris, kontekstualisasi Islam dapat dilihat dari berbagai fatwa yang dihasilkan oleh para ulama, termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah fatwa mengenai pernikahan beda agama yang melarang pernikahan antara seorang Muslim dengan non-Muslim, meskipun beberapa ulama luar membolehkan pernikahan antara pria Muslim dengan wanita ahli kitab. Contoh lain, katanya, adalah fatwa MUI yang membolehkan makan kepiting meskipun dalam fikih klasik, hewan yang hidup di dua alam seperti kepiting diharamkan. Ia juga mencontohkan implementasi rukhsah (keringanan) dalam berwudhu di luar negeri, di mana umat Islam di negara dengan minoritas Muslim terkadang terpaksa membasuh sepatu sebagai pengganti air wudhu. Prof. Haris menambahkan bahwa Islam dapat diimplementasikan di berbagai kondisi, meskipun tidak selalu sesuai dengan praktik tradisional. “Inilah yang saya maksudkan dengan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Islam bisa diterapkan di mana saja dan kapan saja, serta bisa dikontekstualisasikan sesuai kebutuhan zaman,” ujar Prof Haris yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember. Di akhir kuliah umum, Prof. Haris juga mengingatkan pentingnya mendoakan para ulama, termasuk KH. Ahmad Hasyim Muzadi dan KH. Abdul Muchith Muzadi, dua tokoh besar di Nahdlatul Ulama yang telah banyak berjasa dalam membentuk dan membawa perubahan bagi umat Islam. Dalam penutupnya, Prof Haris berpesan kepada mahasiswa dan mahasantri Al Hikam Depok untuk selalu optimis dan percaya diri dalam menuntut ilmu Al-Qur’an yang kini mereka tekuni. Menurutnya, pengkajian al-Quran secara mendalam, serta banyaknya tokoh nasional yang merupakan ahli al-Qur’an, seperti Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua MPR RI periode 2019–2024 yang merupakan alumni Institut Ilmu Al-Qur’an Universitas Negeri Jakarta dan Mochammad Afifuddin Ketua KPU yang alumni Tafsir Hadir UIN Jakarta dapat menjadi motivasi bagi mereka. “Ada banyak tokoh regional dan nasional lainnya yang juga memiliki latar belakang Al-Qur’an sebagai landasan dalam kiprah mereka, sehingga bisa menjadi inspirasi bagi adik-adik semuanya,” tutupnya. Ketua Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an (STKQ) Al Hikam, Depok Dr. Subur Wijaya, M.Pd.I, mengungkapkan rasa terima kasih dan kebanggaannya atas kehadiran Prof. Haris di kampusnya. “Kami sangat senang bisa mengadakan kuliah umum dengan mengundang Prof. Haris, seorang guru besar termuda dari UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember yang masih berusia 39 tahun,” katanya. Reporter : Rico Aldy Munafan Editor : M. Irwan Zamroni Ali